DINASTI FATHIMIYAH
BAB
I
PENDAHULUAN
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat taufik dan hidayahnya kepada kami,sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah Sejarah Peradaban Islam ini. Makalah yang ada di
hadapan anda saat ini dapat di jadikan sebagai bahan bacaan dan penambah
wawasan mengenai Dinasti Fathimiyah, Sejarah berdirinya, Kemajuan Dinasti
Fathimiyah serta kemunduran dan kehancuran Dinasti Fathimiyah. Sebagai salah
satu Dinasti yang mengadakan propaganda terhadap kekuasaan Bani Abbasyiah, dan
bercita-cita besar untuk menjadi pemegang kekuasaan di dunia Islam kala itu,
sekaligus menyebarkan mazhab Syi’ah yang dipakai di kalangan Fathimiyah, Dengan
cara menaklukkan Daulah Abbasiyah di kawasan timur negeri Islam (sekitar
Baghdad) sebagai pemegang kontrol di sebagian besar daerah-daerah Islam.
Dinasti Fathimiyah didirikan oleh al-Mahdi Abu Muhammad
Ubaidillah pada tahun 297 H/ 909 M Sampai 567 H/ 1171 M, selama kurang lebih
262 tahun. Dinasti Fathimiyah mengambil namanya dari fathimah az-Zahra, putri
rasulullah SAW, dengan mengembalikan asal usul mereka kepada Ali bin Abi Thalib
dan Fathimah binti Muhammad rasulullah SAW.
Khalifah yang memimpin Dinasti Fathimiyah ada 14
orang. Namun Dinasti Fathimiyah hanya sampai khalifah kedelapan yang
memperlihatkan eksistensi politik dan kekuasaannya, selebihnya hanya sebagai
dinasti lemah.
Dan untuk mempelajari serta mengetahui lebih banyak
tentang Dinasti Fathimiyah ini, maka anda dapat membaca pembahasan tentang
Dinasti Fathimiyah yang sudah kami sajikan dalam makalah ini.
Kami menyadari bahwa di dalam penyusunan makalah ini
terdapat banyak kekurangan dan kekhilafan, oleh karena itu kepada para pembaca
di mohon saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
BAB II
ISI
A.
DINASTI FATHIMIYAH
Keruntuhan sedikit demi sedikit
hegemoni Daulah Abbasiyah adalah konsekwensi dari lemahnya kepemimpinan dan
dukungan politik dari berbagai daerah kekuasaan. Tuntutan otonomi daerah
bertopeng kepentingan agama demi kekuasaan juga memperlihatkan perannya. Lebih
dari itu, tuntutan perkembangan zaman dan kemajuan masyarakat serta merta
mengubah cara pandang yang tidak bisa tunduk dengan kezaliman selamanya.
Di atas puing-puing keruntuhan itu,
ada banyak dinasti muncul dalam arti memerdekakan diri, yang berangkat dari
akar kepentingan politik kekuasaan dan perbedaan pemahaman agama, suku, ras dan
bangsa. Terutama aliran besar dalam Islam, Sunni dan Syi’ah yang selalu
bergesekan dalam bidang politik dan kekuasaan. Aliran ini pada dasarnya,
merupakan alasan klasik yang selalu terjadi dalam sejarah Islam[1].
Menurut Teori Ibnu Khaldun, apabila
negara telah berdiri teguh ia dapat meninggalkan solidaritas, dengan
sendirinya, rakyat akan membenci negara. Apalagi dengan sistem kerajaan, sifat
kekuasaan yang turun temurun memiliki kelemahan apabila anggota keluarga
melupakan solidaritas sosial. Bani Abbasiyah mengalaminya tetapi tidak menjadi
pemikiran bagi kerajaan sesudahnya, yang juga besar dari rasa solidaritas
ketertindasan.
Demikianlah yang terjadi dengan
Bani Idris di Maghribi Jauh, dan Bani Ubaidi (Fathimiyah) di Afrika dan Mesir,
ketika Thalibiyyun menyingkir dari Timur, menjadikan pusat kalifah, serta berusaha
merampasnya dari tangan Bani ‘Abbas. Dari daerah yang jauh dari Maghribi,
mereka keluar dan mempropagandakan diri. Berkali-kali orang Barbar (Berber)
membantu usaha mereka, yaitu suku Aurubah dan Magghilah untuk Bani Idris, serta
suku Kutamah, Sanhajah dan Hawwarah untuk Bani Ubaidi (Fathimiyah). Suku-suku
ini memperkuat dan memperkokohkan negara dan pemerintahan dengan solidaritas
sosial mereka. Kerajaan yang bernaung di bawah Bani Abbas semuanya mereka
kuasai, pertama yang ada di Maghribi dan kemudian terdapat di Afrika. Dinasti
Abbasiyah terus menuju kehancurannya. Sementara itu Dinasti Bani Ubaidi (Fathimiyah)
meluas dan semakin melebarkan kekuasannya hingga Mesir ,
Syria , dan Hejaz .
Orang-orang Barbar patuh kepada Bani Ubaidi (Fathimiyah) dan berlomba-lomba menduduki
jabatan penting demi kekuatan yang dicapai, tetapi kekuasaan dimiliki turun
temurun oleh generasi mereka, hingga dinasti Arab hancur bersama seluruh
marganya. “Dan Allah menetapkan hukum, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya.
(Q.S. ar-Rad: 41)[2].
Kata kunci dari kekuasaan bagi Ibnu
Khaldun adalah solidaritas, jika ia ada maka terbangunlah sebuah kekuasaan,
baik berbentuk dinasti, daulah dll. Hanya saja, seringkali generasi sesudah
pendiri, yaitu generasi penerus, tidak terpilih atas solidaritas, tetapi atas
keturunan. Inilah yang malemahkan kekuasaan.
B. SEJARAH BERDIRI DINASTI
FATHIMIYAH
Dinasti Fathimiyah mengambil
namanya dari fathimah az-Zahra, putri rasulullah SAW, karena para khalifah
Fathimah mengembalikan asal usul mereka kepada Ali bin Abi Thalib dan Fathimah
binti Muhammad rasulullah SAW. Khilafah ini beraliran syiah yang berkuasa di
Afrika Utara dan Mesir pada tahun 297 H/ 909 M Sampai 567 H/ 1171 M selama +
262 tahun.
Dinasti Fathimiyah didirikan oleh
al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah pada tahun 297 H/909 M hingga 1171 M. Saat itu
kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur
daerah kekuasaan yang luas. Dalam keadaan seperti itu, sekelompok Syi’ah
Islamiyah dari Afrika Utara menyusun kekuatan untuk memerdekakan diri. Gerakan
yang membangkitkan negara baru ini merupakan gerakan bahwa tanah yang tidak bisa
ditelusuri secara jelas. Namun, gerakan ini merupakan cabang dari Syi’ah
Islamiyah, yang mengakui enam Imam pertama Syi’ah Islamiyah, namun berselisih
mengenai Imam ketujuh. Bagi kaum Imamiyah, Musa al-Kazim putra Ja’far al-Sahdiq
adalah imam yang ketujuh, sedangkan kaum Ismailiyah mengakui Ismail sebagai
Imam Ketujuh. Bagi golongan Ismailiyah, karena Ismail wafat lebih dahulu dari
bapaknya, hak maka yang dinobatkan adalah Musa al-Kazim. Sementara menurut
pengikut Ismail, hak atas Ismail sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada
yang lain walaupun sudah meninggal[3].
Sejak pemimpin ketujuh mereka,
Ismail meninggal, aktivitas aliran Ismailiyah dimulai karena khalifah-khalifah
Abbasiyah mengadakan penyelidikan, maka golongan yang setia kepada Ismail bin
Ja’far terpaksa harus meninggalkan Salamiyah, kota
kecil di wilayah Hammah , Syria , menuju Afrika Utara. Di sini
mereka mulai melancarkan propaganda politik untuk memperoleh dukungan rakyat.
Gerakan ini dipimpin oleh seorang orator handal Ismailiyah bernama Abu
Abdullah, yang dikenal dengan sebutan al-Syi’i. Propaganda mereka meliputi:
akan memperbaiki kehidupan ekonomi dan sosial kemasyarakatan, munculnya al-Madi
yang akan membebaskan rakyat dari penindasan dan teror, menyatakan bahwa mereka
akan lebih dekat kepada Nabi dari pada Dinasti Ummayyah dan Abbasiyah[4].
Gerakan Fathimiyah di bawah
pimpinan Ubaidillah al-Mahdi, berakar pada sekte Syiah Islamiyah yang
doktrin-doktrinya berdimensi politik, agama, filsafat, dan sosial. Keyakinan
sekte Islamiyah mengingatkan kita pada ajaran komunis awal, dengan sel-sel
rahasia, sistem doktrin yang rumit, dan jaringan sistem propaganda yang luas
untuk melawan tata sosial mapan.
Menjelang tahun 909 gerakan ini
sudah memperoleh banyak dukungan sehingga mampu mengusir Dinasti Aghlabi dari
Afrika Utara dan menjadi penguasa. Abu Abdullah mengundang Ubaidillah yang
mereka klaim sebagai al-Mahdi dan Januari 910 menjabat sebagai Amirul Mukminin[5].
Dengan demikian resmilah berdiri sebuah dinasti baru yang bernama Dinasti
Fathimiyah dengan Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama, pendukung
Ubaidillah adalah suku-suku Barbar yang berpindah-pindah, yang juga telah
menjadi pengikut Syi’ah Ismailiyah. Mereka bersikap melawan kaum Aghlabiyah
yang terdiri dari suku bangsa Arab aliran sunni dan terikat dengan penguasa
Abbasiyah. Suku Barbar ini berpotensi untuk memberontak terhadap penguasa di Baghdad , karena masih satu
keturunan dengan penguasa Bani Ummayyah yang digulingkan Bani Abbasiyah di
Baghdad[6].
Artinya posisi saat itu, gerakan ini merupakan oposan dari rezim berkuasa
Abbasiyah.
Itulah alasan Tunisia dijadikan basis untuk
membangun kekuasaan dunia Islam baru, guna menggeser kekuasaan Abbasiyah. Di
Afrika Utara, kekuasaan mereka segera menjadi besar. Tahun 909 mereka dapat
menguasai Dinasti Rustamiyah dan menyerang Bani Idrisyiyah yang sedang
menguasai Maroko. Perang antar daerah kekuasaan Islam antar dinasti menjadi
fenomena yang tidak dapat diselesaikan oleh Abbasiyah sebagai rezim yang
berkuasa. di negeri Maghrib (sekitar
Maroko sekarang) dengan Qairawan sebagai ibu kota negaranya.
Seiringan dengan berkembangnya
kekuasaan Fathimiyah di sekitar daerah Maghrib, timbul cita-cita besar khalifah
al-Mahdi untuk menjadikan Dinastinya sebagai pemegang kekuasaan di dunia Islam
kala itu, sekaligus menyebarkan mazhab Syi’ah yang dipakai di kalangan
Fathimiyah. Keinginan ini tentunya hanya bisa terwujud jika sanggup menaklukkan
Daulah Abbasiyah di kawasan timur negeri Islam (sekitar Baghdad) yang saat itu
memegang kontrol di sebagian besar daerah-daerah Islam.Untuk mewujudkan
cita-cita besar tersebut, al-Mahdi segera mengatur rencana dan sebagai terget
awal adalah bagaimana menguasai kawasan Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Syam
(sekitar Syiria sekarang).
Menakhlukkan dua kawasan tersebut
tidaklah mudah, karena ada dua penghalang yang dapat menggagalkan rencana
khalifah al-Mahdi , Yaitu :
- Pertama dari sisi pengaruh politik,
kawasan Hijaz dan Syam saat itu berada dalam pengaruh kuat Ikhsyidiyah yang
berpusat di Mesir.
- Kedua dari sisi geografis, negeri
Mesir yang menjadi pusat daulah Ikhsyidiyah adalah negeri Abbasiyah pertama
yang berbatasan langsung dengan kekuasaan Fathimiyah dan berada di antara
negeri Maghrib dan kawasan Hijaz dan Syam, sehingga posisi Maghrib sangat tidak
menguntungkan sekali secara politik dan militer jika mereka langsung melakukan
penyerangan ke Hijaz dan Syam.
Dengan mempertimbangkan hal di
atas, mereka memastikan bahwa mereka memang perlu menaklukkan Mesir dan
Ikhsyidiyah yang memiliki posisi geografis lebih menguntungan secara politik
dan militer.
Keinginan khalifah al-Mahdi untuk
menaklukkan Mesir tidak dapat dibendung lagi, tiga kali penyerangan dilancarkan
:
- Serangan pertama dilancarkan pada
tahun 301 H./913 M. Namun serangan tersebut menemui kegagalan.
- Serangan kedua pada tahun 307 H./919
M. Ia kembali mengadakan penyerangan, sayang hasilnya tetap nihil.
- Serangan ketiga pada tahun 321 H./933
M. Ia mengirim pasukan untuk yang ketiga kalinya, usaha ini terus dilanjutkan
sampai masa anaknya al-Qaim Biamrillah diangkat menjaid khalifah kedua
Fathimiyah, namun hasilnya juga belum memuaskan, bahkan di sisa-sisa masa
jabatan al-Qaim, ia lebih sibuk mengurusi gejolak-gejolak yang terjadi di dalam
negerinya, sehingga kegiatan agresi militer ke Mesir mengalami
kevakuman.Keadaan seperti ini terus berlanjut di sepanjang masa pemerintahan
khalifah ketiga Bani Fathimiyah, al-Mansur Binasrillah (334 H.-341 H./945
M.-952 M.).Kondisi dalam negeri membaik ketika khalifah keempat, al-Muiz
Lidinillah, naik tahta di akhir tahun 341 H./953 M.
Seluruh suku bangsa Barbar yang
sebelumnya membangkang dapat “dijinakkan” saat itu, kemudian Bani Idrisiyah
yang memberontak dan ingin melepaskan diri dapat juga ditaklukkan.
Pada
tahun 914 M, Ziyadatullah bin Qurhub, seorang bangsawan Arab, muncul di Palermo menolak kehadiran
Dinasti Fathimiyah di Sycilia. Ia berafiliasi kepada Khalifah Abbasyiah di Bagdad
(masa Al-Muqtadir 908-932 M). Ia juga adalah penganut Madzhab Sunni dan dekat
dengan keluarga Aghlaby, serta mendapat sokongan yang sangat kuat dari para
ulama-ulama madzhab maliki. Para ulama ini
secara massif berimigrasi dari Afrika
Utara untuk menghindari tekanan Dinasti fathimiyah yang Syi’ah. Ziyadatullah
terus-menerus antara tahun 915-916 M melakukan penyerangan terhadap tanah-tanah
Italia, dan Eusthatius di Calabria wakil kerajaan Bizantium terpaksa harus
membayar upeti kepadanya. Akan tetapi, pada akhirnya ia ditangkap oleh dinasti
Fathimiyah.
Keberhasilan dari sisi internal ini
ternyata menjadikan kekuasaan Daulah Fathimiyah meluas, membentang dari barat Tripoli (Libiya sekarang)
disebelah timur sampai Samudera Atlantik di sebelah barat.
Ketika itulah keinginan untuk
menguasai Mesir kembali muncul. Keinginan ini juga diperkuat dengan beberapa
alasan-alasan baru, diantaranya:
a. Meninggalnya Kafur al-Ikhsyidi tahun
357 H./968 M. yang merupakan wali Mesir sejak dua tahun sebelumnya.
b. Terjadinya krisis ekonomi di Mesir.
Berkali-kali terjadi banjir di Mesir selama kurun sembilan tahun yang
menyebabkan lahan pertanian menjadi sempit dan otomatis harga bahan pangan
menjadi mahal serta diikuti dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok lainnya
sehingga terjadilah bencana kelaparan di Mesir dan menyebarnya wabah penyakit
di kalangan penduduk Mesir.
c. Kekacauan di bidang ekonomi ini merambat
ke bidang militer, dimana terjadi perpecahan antara pemimpin-pemimpin militer
negara. Situasi ini menambah kemarahan publik terhadap penguasa saat itu
berlipat ganda.
d. Sekelompok golongan ekstrim Syi’ah
yang disebut Qaramithah terus berusaha mengerogoti kawasan timur Mesir, dan
kebetulan sekali beberapa anggota kelompok ini memiliki hubungan baik dengan
Dinasti Fathimiyah.
Awalnya golongan Qaramithah inilah
yang melakukan gencaran ke Mesir sehingga muncul kecemasan di kalangan publik,
dalam kondisi tidak menentu ini sejumlah orang Fathimiyah telah bermain di
dalam masyarakat Mesir untuk misi propaganda dan pengendalian opini publik agar
mereka siap dengan masuknya penguasa baru di Mesir.Dilain pihak Abbasiyah di
Baghdad tidak sangup mengirim pasukannya untuk mengatasi krisis di Mesir.Dengan
memperhatikan kondisi internal dan eksternal yang demikian maka khalifah al-Muiz
memberanikan diri meneruskan cita-cita pendahulunya yang belum menuai hasil
maksimal.
Singkat cerita, selanjutnya
khalifah Fathimiyah, al-Muiz Lidinillah , menyerahkan tanggungjawab penaklukan
Mesir kepada panglima perangnya Jauhar ash-Shiqli yang sebelumnya berhasil
meluaskan kekuasaan Fathimiyah sampai ke pantai Samudera Atlantik (barat Maroko
sekarang).
Untuk penyerangan kali ini al-Muiz
menyiapkan pasukan dengan kekuatan yang cukup besar dengan menempatkan seratus
ribu pasukan berkuda di dalamnya. Sepertinya khalifah al-Muiz tidak ingin
mengulangi kekalahan yang diderita pada tiga agresi sebelumnya.Sebelum
pengiriman pasukan dimulai, al-Muiz melakukan serangkaian persiapan-persiapan
untuk menunjang kelancaran serangan ini, diantaranya pembangunan jalan dan
jalur-jalur penghubung ke Mesir, penggalian sumur-sumur, pendirian
tempat-tempat istirahat dan tidak lupa pendanaan dalam skala besar.Di saat
semua persiapan dirasa cukup maka mulailah khalifah al-Muiz melepas kepergian
pasukannya di bawah komando panglima Jauhar ash-Shiqli pada 14 Rabi’ul Akhir
358 H./7 Maret 969 M.
Pasca beberapa seremonial
pelepasan, berangkatlah pasukan besar itu menuju arah Mesir. Dan ketika al-Muiz
kembali ke istananya, ia mengirimkan pakaian kebesarannya yang baru saja dipakai
dalam seremonial tadi kepada Jauhar as-Shiqli kecuali cincin khalifahnya.
Setelah beberapa hari perjalanan,
Jauhar dan pasukannya masuk Mesir melalui Iskandariyah (Alexandria ). Ketika berita ini sampai di
Fusthat, Ja’far al-Furat (menteri Mesir) dan orang-orangnya mengajukan
permohonan perlindungan keamanan. Pada 18 Rajab 358 H mereka menyusun sebuah
pertemuan dengan pihak Jauhar. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan yang
menyatakan bahwa Jauhar akan memberikan keamanan dan kedatangannya ke Mesir adalah
dalam rangka perbaikan serta tidak memaksakan mazhab Syi’ah pada masyarakat
Mesir yang Sunni. Ternyata fakta di lapangan berkata lain, sebagian besar
tentara Mesir tidak setuju dengan nota kesepakatan tersebut, sehingga
terjadilah pertempuran yang berakhir dengan kekalahan pasukan mesir yang tidak
setuju.
Pada sore 17 Sya’ban 358 H./6 Juli
969 M. Jauhar ash-Shiqli beserta pasukannya masuk bagian kota Mesir yang kala itu mencakup kawasan
Fusthat dan ‘Askar. Dan Jauhar mengambil sebuah tempat luas yang berposisi
menghadap kedua kota
tersebut sebagai markas pasukannya, tempat itu disebut Munakh.
Dengan masuknya pasukan Dinasti
Fathimiyah ke Mesir berarti berakhirlah masa pendudukan Mesir di bawah
kekuasaan Ikhsyidiyah dan Abbasiyah, dan mulailah Mesir memasuki babak baru di
bawah kekuasaan Dinasti Fathimiyah. Sebagaimana tradisi kaum muslimin
sebelumnya, maka setelah berhasil menduduki Mesir, Jauhar segera mendirikan
sebuah kota sebagai lambang kekuatan sekaligus kemenangan sisi politik dan
militer Daulah Fathimiyah atas Daulah Abbasiyah di Mesir. Bahkan ketika itu
Jauhar menghapuskan dan melarang pemakaian semua simbol-simbol Abbasiyah.
Al-Qahirah atau al-Qahir sendiri
dalam bahasa arab berarti yang perkasa atau kuat, konon sebab penamaan kota ini demikian karena
al-Muiz sendiri adalah seorang yang cenderung optimistik. Pemilihan nama itupun
sebenarnya telah muncul di benak al-Muiz semenjak ia berada di negeri Maghrib,
bahkan sebelum Jauhar ash-Shiqli beserta pasukannya melangkah menuju negeri
baru ini, tepatnya ketika ia menyampaikan pidato pelepasan pasukan:” demi
Allah, walaupun Jauhar ini berangkat seorang diri saja niscaya Mesir akan dapat
ditundukkan juga, ia akan memasuki Mesir tanpa peperangan, kemudian menetap di
reruntuhan Ibnu Touloun dan medirikan sebuah kota bernama al-Qahirah (yang perkasa)
yang akan menaklukkan dunia”.
Prof. Ahmad Hasan al-Baquri, mantan
rektor Universitas al-Azhar, pernah menyebutkan alasan lain pemilihan nama
al-Qahirah:” ketika Presiden Jamal Abdul Naser berada di kota
Qairawan, beliau mengunjungi sebuah masjid di sana yang bangunannya mirip dengan bangunan
al-Azhar dan di sampingnya terdapat sebuah ruangan. Teman-teman dekatnya
memberitahu bahwa dahulu ruangan itu adalah tempat penyimpanan harta dan
senjata, dan mereka dulu menamakan ruangan tersebut dengan al-Qahirah. Dengan
nama inilah dinamai kota
al-Qahirah (Kairo) setelah Fathimiyah menaklukkan negeri Mesir, tambah mereka.”
Di lain riwayat disebutkan juga
bahwa yang menamai kota
ini dengan al-Qahirah bukan Khalifah, namun Jauhar sendiri terinspirasi dari
planet Mars, yang menurut ahli bintang/falak masa lalu merupakan raja
planet/bintang (qahirul falak). Karena menurut riwayat ini ketika pembangunan
kota akan dimulai, para ahli bintang mengelilingi pondasi kota dengan tali dan
pada tali itu digantungkanlah lonceng-lonceng, kemudian mereka mulai menunggu
bintang yang muncul, di saat itulah hinggap burung di atas tali tadi yang
menyebabkan lonceng-lonceng tersebut berbunyi dan mereka mendapati bintang
kejora (planet mars) telah muncul di ufuk, maka mulailah para pekerja
mengayunkan tangan-tangan mereka, mulai membangun kota itu, dan kemudian
dinamailah kota itu dengan al-Qahirah.
Terlepas dari beragam versi di
atas, di beberapa kesempatan nama al-Qahirah juga biasa disebut al-Qahirah
al-Muiziyah dengan menisbahkan nama khalifah al-Muiz kepadanya, atau al-Qahirah
al-Mahrusah karena dinding pagarnya yang tinggi dan pintu-pintunya yang besar.
Dari segi posisi, kota al-Qahirah ini terletak di sebelah timur
Fusthat, berbentuk persegi empat yang panjang sisinya 1200 meter dan dikelilingi
oleh pagar yang besar. Waktu itu ia mencakup daerah al-Azhar, Gamaliyah,
Husainiyah, Babu asy-Sya’riyah, Moski, Ghouriyah dan Bab al-Khalq.
Di sisi timur pagar kota , tepatnya di tempat
yang dijadikan Jauhar sebagai markas pasukannya, dibangun juga sebuah istana
untuk khalifah al-Muiz. Disekitar kawasan inilah berpusat pemerintahan
Fathimiyah kala itu, di sana
juga dibangun gudang-gudang senjata.
Namun, di masa-masa awalnya Kairo
belumlah menjadi sebuah ibu kota
melainkan hanya kumpulan dari istana-istana besar, Jami’ al-Azhar, barak-barak
militer dan pemukiman kabilah-kabilah dari Maghrib. Sementara itu Fusthat yang
berada di pinggir Nil masih berfungsi sebagai pusat perdagangan dan selalu
setia meyambut kedatangan kapal-kapal Nil dari daerah-daerah selatan yang
mengangkut hasil-hasil pertanian, ia juga masih menjadi kota terbesar bagi para pencari kerja dan
pencari ilmu & pengetahuan.
Maka dengan berdirinya al-Qahirah
atau Kairo berarti ia adalah kota Islam keempat yang didirikan dalam selang waktu
338 tahun sejak Amru bin Ash mendirikan kota Fusthat tahun 20 H. Dan takdir
telah menjadikan jejak-jejak kebesaran tiga kota sebelumnya terhapus sedangkan
Kairo tetap kokoh sampai saat ini sebagai ibu kota Mesir dan kota terbesar
dalam dunia Islam-selain Istambul ketika menjadi ibu kota Dinasti Utsmani serta
menjadi pusat perkembangan peradaban dari sisi agama, pemikiran dan pengetahuan
dalam dunia Islam dan Arab khususnya.
Setelah Mesir dapat dikuasai, maka
fokus politik Dinasti Fathimiyah selanjut adalah mendirikan ibu kota baru yang terletak di
Fusfat bagian Utara, yang mereka sebut dengan al-Qahirah, yang berarti sang
penakluk. Sejak itu penampilan Fusfat semakin cemerlang dan mampu menjadi
pesaing Kota Baghdad sebagai pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur
Tengah. Disamping itu, dinasti ini juga berupaya untuk menyebar luas ideologi
Fathimiyah ke Palestina, Syiria dan Hijaz.[7]
Keberadaan Dinasti Fathimiyah
berbeda dengan dinasti-dinasti kecil lainnya. Dinasti Fathimiyah mengklaim diri
sebagai kekhalifahan yang memegang pimpinan politik dan spritual tertinggi.
Mereka tidak mengaku bagian dari Abbasiyah, mereka melepaskan diri dari Baghdad , tidak hanya dari
segi politik, tetapi juga spritual. Sementara dinasti-dinasti kecil lainnya
walaupun secara politik melepas dari dinasti Abbasiyah, namun secara spiritual
mereka tetap terikat. Inilah yang membedakan Dinasti Fathimiyah dengan
dinasti-dinasti lokal lainnya.
Khalifah-khalifah yang memimpin
Dinasti Fathimiyah ada 14 orang, yaitu:
- Abu Muhammad Abdullah (Ubaidillah)
al-Mahdi billah (910-934). Pendiri.
- Abu Muhammad al-Qa’im bi-Amr Allah bin
al-Mahdi Ubaidillah (934-946)
- Abu Kahir Ismail al-Mansur bi-llah
(946-953)
- Abu Tamim Ma’add al-Mu’izz li-Din
Allah (953-975) Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.
- Abu Mansur Nizar al-’Aziz bi-llah
(975-996)
- Abu Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr
Allah (996-1021)
- Abu Hasan Ali al-Zahir li-I’zaz Din
Allah (1021-1036)
- Abu Tamim Ma’add al-Mustansir bi-llah
(1036-1094)
- Al-Musta’li bi-llah (1094-1101) pertikaian
atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
- al-Amir bi-Ahkam Allah (1101-1130)
Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh
Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
- Abd al-Majid al-Hafiz (1130-1149)
- al-Zafir (1149-1154)
- al-Faiz (1154-1160)
- al-Adid (1160-1171)[8]
Sebagai catatan penting, Dinasti
Fathimiyah ini hanya sampai khalifah kedelapan yang memperlihatkan eksistensi
politik dan kekuasaannya, selebih dari itu, keberadaannya hanya sebagai dinasti
lemah.
C. KEMAJUAN DINASTI FATHIMIYAH
Dinasti Fathimiyah mencapai puncak
kejayaannya pada periode Mesir, terutama di bawah pemerintahan al-Muiz dan
al-Hakim dengan kota
Kairo sebagai pusat pemerintahan. Ketika itu di sana terdapat lebih kurang 20.000 toko milik
khalifah, yang penuh dengan barang dari dalam dan luar negeri. Tempat pemandian
dan sarana umum lainnya juga didirikan oleh penguasa. Istana khalifah dihuni
oleh 30.000 orang, 12.000 di antaranya pembantu dan 10.000 orang pengawal
berkuda. Tentu bila dibandingkan dengan pola kekuasaan abad ini, justru pegawai
terbayak adalah pegawai istana pemerintahan, kecuali bila dihitung aparatur
pemerintah setiap daerah dari yang teratas hingga paling bawah.
Al-Muiz melakukan tiga kebijakan
besar, yaitu pembaruan di bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan
toleransi beragama.[9] Di
bidang administrasi, ia mengangkat seorang menteri (wazir) untuk melaksanakan
tugas kenegaraan. Di bidang ekonomi, ia memberikan gaji khusus kepada tentara,
personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Di bidang agama, di Mesir
didirikan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Sy’iah dan dua lagi untuk
Sunni. Ini memperlihat kerukunan dua aliran di Dinasti Fathimiyah.
Al-Aziz kemudian memunculkan
program baru dengan mendirikan masjid, istana, jembatan dan kanal sehingga
Dinasti Fathimiyah akhirnya dikenal dengan kekuatan maritim yang tangguh.
Kenyataannya, mereka berhasil membangun pertahanan maritim dan menjadi pusat
perdagangan laut ketimbang menyebarluaskan ajaran dan ideologi mereka.[10]
Sementara itu, pada masa Khalifah
al-Hakim, mendirikan Dar al-Hikmah, sebuah lembaga pusat pengkajian dan
pengajaran ilmu kedokteran dan astronomi. Ia juga mendirikan Dar al-Ilmi,
sebuah lembaga dengan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada
tahun 1013, al-Hakim membentuk majelis ilmu pengetahuan di istana sebagai
tempat berkumpulnya para ilmuwan untuk berdiskusi. Pada masa ini, muncul Ibnu
Yunus (958-1009), seorang astronom besar yang menemukan pendulum dan alat ukur
waktu. Karyanya, Zij al-Alibar al-Hakimi diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa. Temuan Ibnu Yunus kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Al-Nabdi dan Hasan
Haitani (965-1039), seorang astronom, fisikawan dan opoteker.[11]
Kemajuan yang tinggi pada peradaban
Islam masa Fathimiyah dapat disimpulkan meliputi bidang :
1-
Administrasi
dan pemerintahan
2-
Ekonomi
3-
Seni
dan kemegahan pembangunan fisik
4-
Ilmu
pengetahuan dan kesusastraan
Dinasti Fathimiyah juga terkenal
dengan toleransi beragamanya. Para penguasa
Fathimiyah tidak mencoba melakukan tekanan agar penganut sunni menyeberang ke
Syi’ah Ismailiyah. Mereka juga sangat menghargai kemerdekaan agama Kristen
maupun Yahudi. Satu-satunya pengecualian adalah pada masa khalifah al-Hakim,
karena ia melakukan pembantaian terhadap penganut agama Kristen, menghancurkan
gereja, membunuhi anjing serta mengharamkan jenis makanan tertentu. Di samping
itu, ia memproklamirkan sebagai Tuhan dan ia dianggap gila.[12]
Inilah titik awal dan alasan terjadinya perang dingin dan meletus menjadi
perang Salib nantinya.
Mesir dengan segera menjadi pusat
peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah, menyaingi Dinasti Abbasiyah di
Baghdad. Mesir juga menjadi pusat pengembangan intelektual dan keilmuan dengan
keberadaan Universitas al-Azhar (970). Pada awal didirikan hingga dua abad kemudian
al-Azhar telah memainkan peranan penting, sebagai pusat propaganda ajaran
Ismailiyah oleh Dinasti Fathimiyah, Sampai nanti Salahuddin al-Ayyubi menguasai
Mesir dan menjadikan Sunni sebagai mazhab pengganti Syi’ah. Namun begitu, Kairo
tetap mampu menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Dunia Islam.
Namun pada periode sesudahnya,
dinasti ini melemah, terutama saat menghadapi tentara perang salib dan kaum
sunni. Disamping itu, khalifahnya sering kali berusia muda dan suka
berfoya-foya. Sementara itu, kalangan pejabatan terjadi perebutan kekuasaan.
D. KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN
Kemunduran yang dialami Dinasti
Fathimiyah sudah mulai ada pada masa al-Hakim Masa pemerintahannya, ditandai
dengan sifat aneh, karena ia membuat kebijakan menghancurkan gereja suci di
Yerusalem, yang kelak akhirnya menjadi salah satu peristiwa yang melatar
belakangi pecahnya perang salib. Ia juga secara umum menyatakan diri sebaga
Tuhan, sebuah klaim yang menimbulkan polemik yang dahsyat di kalangan umat
Islam dan ia dipaksa mencabut pernyataan tersebut. Inilah akhirnya menjadi akar
melemahnya dukungan politik terhadap kepemimpinan al-Hakim, sehingga pada tahun
1094 terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh panglima militer, al-Afzal
Sahinsyah.
Sementara itu terjadi kekacauan
sekitar permasalahan suksesi di masa pemerintahan khalifah al-Musta’ali. Nizar,
putera Musta’ali yang tertua dihukum penjara hingga meninggal, namun pengikut
Nizar meyakini bahwa Nizar masih hidup. Ini menimbulkan kekacauan dan
melahirkan dua kubu yang saling bersaing, yaitu kubu Must’aliyah dan kubu
Nizariyah.
Keretakan antara Nizariyah dan
Musta’aliyah menimbulkan cabang baru Islamiyah. Putra Al-Musta’ali yang bernama
al-Amir menggantikan ayahnya sebagai penguasa di Mesir masih berusia anak-anak,
al-Amir akhirnya menjadi korban pembunuhan pada tahun 1130. Sepeninggal
al-Amir, Dinasti Fathimiyah semakin mengalami kemunduran. Pada saat itu, timbul
pertentangan paham keagamaan antara kalangan penguasaan dengan mayoritas
masyarakat yang menganut Sunni. Sejumlah kelompok kecil mengikuti imam mereka
masing-masing dan mengabaikan klaim penguasa Fathimiyah.
Pada masa pemerintah al-Adid,
Dinasti Fathimiyah mendapat kesulitan untuk menahan masuk tentara salib ke
Mesir. Maka pada khalifah al-Adid meminta bantuan kepada Nurddin Zanki. Nurddin
akhirnya mengutuskan Shalahuddin al-Ayubi yang membawa tentara ke Mesir untuk
menghalau tentara Salib. Karena keberhasilannya, dia diangkat menjadi menteri
di Mesir, di bawah Fathimiyah tentunya. Namun khalifah al-Adid amat tua untuk
memimpin dan tekanan politik makin tinggi, sementara keberhasila Shalahuddin
al-Ayubi membuat dukungan atasnya menjadi khalifah sangat kuat. Pada akhirnya,
Shalahuddin al-Ayubi bisa menjadi khalifah dan mengakhiri Dinasti Fathimiyah.
Faktor yang menyebabkan kemunduran
Fathimiyah terlebih sesudah berakhirnya masa al-Aziz,adalah khalifah yang
diangkat pada usia masih sangat belia.hal ini membuat mereka menjadi boneka
para wazir dan timbul konflik kepentingan di kalangan pejabat istana serta di
kalangan militer antara unsur Barbar, Turki, Bani Hamdan, dan Sudan . Terlebih lagi, para penguasa
itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideologi
Syiah kepada rakyat yang mayoritas sunni.
Kepemimpin Shalahuddin al-Ayubi
mengubah corak kekuasaan sebelumnya, dari Syi’ah beralih ke Sunni. Sehingga
disebut Dinasti Sunni al-Ayyubiyah. Shalahuddin al-Ayubi sebagai pendirinya.
Sekalipun Fathimiyah runtuh di
Mesir, namun beberapa kelompok kecil Ismailiyah masih bertahan di Syiria , Persia
dan Asia Tengah. Serta ia mengalami perkembangan pesat di India . Artinya, setelah runtuh,
sebuah kekuatan tidak serta merta lenyap, tetapi masih ada dan bertahan, atau
setidaknya tumbuh di tempat lain.
E. PENUTUP
Selama dua abad keberadaan Dinasti
Fathimiyah menguasai Mesir, telah memberikan sumbangan peradaban yang besar.
Kemajuan terbesar adalah memberikan ruang berkembangnya ilmu pengetahuan di
dunia Islam dan keberadaan Universitas al-Azhar sebagai pusat pengkajian ilmu
pengetahuan masih terasa hingga kini. Ada
banyak ilmuwan yang lahir pada era dinasti satu ini, berbagai bidang ilmu
pengetahuan juga menarik untuk ditelusuri lebih lanjut.
Sebagai catatan penting adalah,
dinasti ini telah sukses menyumbangkan peradaban dalam bentuk bidang ilmu pengetahuan
seperti mendirikan pusat pendidikan al-Azhar, Dar al-Hikmah dan Dar al-Ilmi.
Memiliki dan menciptakan administrasi pemerintahan. Meningkatkan kesejahteraan
rakyat dengan memaksimalkan pengembangan pertanian sehingga Dinasti Fathimiyah
terkenal dengan penghasil gandum dan kapas terbesar pada waktu itu.
Terlepas klaim sebagai keturunan
nabi yang masih diperdebatkan dan salah seorang khalifah tidak mencerminkan
kepemimpinan yang ideal, namun yang jelas sumbangan dinasti ini merupakan
sumbangan berharga.
BAB III
Kesimpulan
1-
Dinasti
Fathimiyah didirikan oleh al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah pada tahun 297 H/
909 M Sampai 567 H/ 1171 M selama kurang lebih 262 tahun.
2-
Gerakan
Fathimiyah berakar pada sekte Syi’ah Islamiyah, yang doktrin-doktrinya berdimensi
politik, agama, filsafat, dan sosial.
3-
Seiringan
dengan berkembangnya kekuasaan Fathimiyah di sekitar daerah Maghrib, timbul
cita-cita besar khalifah al-Mahdi untuk menjadikan Dinastinya sebagai pemegang
kekuasaan di dunia Islam kala itu, sekaligus menyebarkan mazhab Syi’ah yang
dipakai di kalangan Fathimiyah.
4-
Dengan
beberapa pertimbangkan, mereka memastikan bahwa mereka perlu menaklukkan Mesir
dan Ikhsyidiyah yang memiliki posisi geografis lebih menguntungan secara
politik dan militer.Sehingga dilakukan tiga kali penyerangan ke Mesir namun
belum berhasil, dan penakhlukan Mesir dapat di capai pada masa khalifah al-Muiz
Lidinillah. Dan berhasil pada sore 17 Sya’ban 358 H./6 Juli 969 M
5-
Dinasti
Fathimiyah mencapai puncak kejayaannya pada periode Mesir, terutama di bawah
pemerintahan al-Muizz dan al-Hakim dengan kota
Kairo sebagai pusat pemerintahan. Al-Muiz melakukan tiga kebijakan besar, yaitu
pembaruan di bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama.
6-
Pada
masa Khalifah al-Hakim, didirikan Dar al-Hikmah, sebuah lembaga pusat
pengkajian dan pengajaran ilmu kedokteran dan astronomi. Ia juga mendirikan Dar
al-Ilmi, sebuah lembaga dengan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan.
7-
Kepemimpin
Shalahuddin al-Ayubi mengubah corak kekuasaan sebelumnya, dari Syi’ah beralih
ke Sunni. Sehingga disebut Dinasti Sunni al-Ayyubiyah. Dengan Shalahuddin
al-Ayubi sebagai pendirinya.
DAFTAR
PUSTAKA
- Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, Jakarta :
RajaGrafindo, 1995
- Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terjemahan
Ahmadie Toha Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2006
-G. E. Boswort, Dinasti-Dinasti
Islam, judul Asli, The Islamic Dynasties oleh Ilyas Hasan, Bandung: Mizan,
1993
-Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah
Peradaban Islam, Padang :
IAIN Imam Bonjol Press, 2002
-W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam:
Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, diterjemahkan oleh Hartonom
Hadikusuma, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990
-Abu Su’ud, Islamogy, Sejarah, Ajaran
dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia, Jakarta : Rineka Cipta, 2003
-Cyrel Glase, Ensiklopedia Islam,
Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2002
-Zaenal Abidin Ahmad, Sejarah Islam
dan Ummatnya, Jakarta :
PT. Bulan Bintang, 1979
- Josoef Sou’eb, Sejarah Dahulah
Abbasiyah II, Jakarta :
Bulan Bintang, 1977
- M. Natsir Arsyad, Ilmuwan, Muslim
Sepanjang Sejarah, Bandung :
Mizan, 1990
- Ajid Thohir, Perkembangan peradaban
di Kawasan Dunia Islam, Jakarta
: PT. Rajawali, 2004
-
Abu Su’ud, Dr, Prof, Islamologi Sejarah Ajaran dan peranannya dalam
Peradaban Umat manusia,Bineka Cipta, 2003
- Mansur, Drs, MA, Peradaban Islam
dalam Lintasan sejarah, Yogyakarta , Global
Pustaka Utama, 2004
([1])Di antara
dinasti-dinasti yang melepas diri dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, Dinasti
Fathimiyah di Mesir yang langsung mengaku Khalifah, Ikhsyidyah di Mesir dan
Syiria, Hamdan di Aleppo dari Lembah Fusfat, Ghaznawi di Ghazna dekat Kabul dan
Dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari tanban Bani Buwaih. Lihat,
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 1995), hal. 63. Masa
1000-1250 M disebut para serajawran sebagai masa disintegrasi di dunia Islam.
([2])Ibnu
Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Ahmadie Toha (Jakarta : Putaka Firdaus, 2006), hal. 191-192
([3])
G.
E. Boswort, Dinasti-Dinasti Islam, diterjemahkan dari The Islamic Dynasties
oleh Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 17.
([4])Maidir
Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang : IAIN Imam Bonjol Press, 2002), hal.
80-81.
([6])
Abu
Su’ud, Islamogy, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia,
(Jakarta :
Rineka Cipta, 2003), hal. 19. Lihat juga Cyrel Glase, Ensiklopedia Islam,
(Jakarata: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 97.
Assalammualaikum... mabrook,, sungguh bagus perkongsian mngenai dinasti fatimiyyah... teman, ada rujukan berkenaan dinasti RUSTAMIYYAH tak? mohon ya dibalas.
BalasHapus