Minggu, 03 Maret 2013

Dinasti Fathimiyah


DINASTI FATHIMIYAH
BAB I
PENDAHULUAN

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat taufik dan hidayahnya kepada kami,sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Sejarah Peradaban Islam ini. Makalah yang ada di hadapan anda saat ini dapat di jadikan sebagai bahan bacaan dan penambah wawasan mengenai Dinasti Fathimiyah, Sejarah berdirinya, Kemajuan Dinasti Fathimiyah serta kemunduran dan kehancuran Dinasti Fathimiyah. Sebagai salah satu Dinasti yang mengadakan propaganda terhadap kekuasaan Bani Abbasyiah, dan bercita-cita besar untuk menjadi pemegang kekuasaan di dunia Islam kala itu, sekaligus menyebarkan mazhab Syi’ah yang dipakai di kalangan Fathimiyah, Dengan cara menaklukkan Daulah Abbasiyah di kawasan timur negeri Islam (sekitar Baghdad) sebagai pemegang kontrol di sebagian besar daerah-daerah Islam.
Dinasti Fathimiyah didirikan oleh al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah pada tahun 297 H/ 909 M Sampai 567 H/ 1171 M, selama kurang lebih 262 tahun. Dinasti Fathimiyah mengambil namanya dari fathimah az-Zahra, putri rasulullah SAW, dengan mengembalikan asal usul mereka kepada Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Muhammad rasulullah SAW.
Khalifah yang memimpin Dinasti Fathimiyah ada 14 orang. Namun Dinasti Fathimiyah hanya sampai khalifah kedelapan yang memperlihatkan eksistensi politik dan kekuasaannya, selebihnya hanya sebagai dinasti lemah.
Dan untuk mempelajari serta mengetahui lebih banyak tentang Dinasti Fathimiyah ini, maka anda dapat membaca pembahasan tentang Dinasti Fathimiyah yang sudah kami sajikan dalam makalah ini.
Kami menyadari bahwa di dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kekhilafan, oleh karena itu kepada para pembaca di mohon saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
BAB II
ISI
A. DINASTI FATHIMIYAH

Keruntuhan sedikit demi sedikit hegemoni Daulah Abbasiyah adalah konsekwensi dari lemahnya kepemimpinan dan dukungan politik dari berbagai daerah kekuasaan. Tuntutan otonomi daerah bertopeng kepentingan agama demi kekuasaan juga memperlihatkan perannya. Lebih dari itu, tuntutan perkembangan zaman dan kemajuan masyarakat serta merta mengubah cara pandang yang tidak bisa tunduk dengan kezaliman selamanya.
Di atas puing-puing keruntuhan itu, ada banyak dinasti muncul dalam arti memerdekakan diri, yang berangkat dari akar kepentingan politik kekuasaan dan perbedaan pemahaman agama, suku, ras dan bangsa. Terutama aliran besar dalam Islam, Sunni dan Syi’ah yang selalu bergesekan dalam bidang politik dan kekuasaan. Aliran ini pada dasarnya, merupakan alasan klasik yang selalu terjadi dalam sejarah Islam[1].
Menurut Teori Ibnu Khaldun, apabila negara telah berdiri teguh ia dapat meninggalkan solidaritas, dengan sendirinya, rakyat akan membenci negara. Apalagi dengan sistem kerajaan, sifat kekuasaan yang turun temurun memiliki kelemahan apabila anggota keluarga melupakan solidaritas sosial. Bani Abbasiyah mengalaminya tetapi tidak menjadi pemikiran bagi kerajaan sesudahnya, yang juga besar dari rasa solidaritas ketertindasan.
Demikianlah yang terjadi dengan Bani Idris di Maghribi Jauh, dan Bani Ubaidi (Fathimiyah) di Afrika dan Mesir, ketika Thalibiyyun menyingkir dari Timur, menjadikan pusat kalifah, serta berusaha merampasnya dari tangan Bani ‘Abbas. Dari daerah yang jauh dari Maghribi, mereka keluar dan mempropagandakan diri. Berkali-kali orang Barbar (Berber) membantu usaha mereka, yaitu suku Aurubah dan Magghilah untuk Bani Idris, serta suku Kutamah, Sanhajah dan Hawwarah untuk Bani Ubaidi (Fathimiyah). Suku-suku ini memperkuat dan memperkokohkan negara dan pemerintahan dengan solidaritas sosial mereka. Kerajaan yang bernaung di bawah Bani Abbas semuanya mereka kuasai, pertama yang ada di Maghribi dan kemudian terdapat di Afrika. Dinasti Abbasiyah terus menuju kehancurannya. Sementara itu Dinasti Bani Ubaidi (Fathimiyah) meluas dan semakin melebarkan kekuasannya hingga Mesir, Syria, dan Hejaz. Orang-orang Barbar patuh kepada Bani Ubaidi (Fathimiyah) dan berlomba-lomba menduduki jabatan penting demi kekuatan yang dicapai, tetapi kekuasaan dimiliki turun temurun oleh generasi mereka, hingga dinasti Arab hancur bersama seluruh marganya. “Dan Allah menetapkan hukum, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. (Q.S. ar-Rad: 41)[2].
Kata kunci dari kekuasaan bagi Ibnu Khaldun adalah solidaritas, jika ia ada maka terbangunlah sebuah kekuasaan, baik berbentuk dinasti, daulah dll. Hanya saja, seringkali generasi sesudah pendiri, yaitu generasi penerus, tidak terpilih atas solidaritas, tetapi atas keturunan. Inilah yang malemahkan kekuasaan.

B. SEJARAH BERDIRI DINASTI FATHIMIYAH

Dinasti Fathimiyah mengambil namanya dari fathimah az-Zahra, putri rasulullah SAW, karena para khalifah Fathimah mengembalikan asal usul mereka kepada Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Muhammad rasulullah SAW. Khilafah ini beraliran syiah yang berkuasa di Afrika Utara dan Mesir pada tahun 297 H/ 909 M Sampai 567 H/ 1171 M selama + 262 tahun.
Dinasti Fathimiyah didirikan oleh al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah pada tahun 297 H/909 M hingga 1171 M. Saat itu kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaan yang luas. Dalam keadaan seperti itu, sekelompok Syi’ah Islamiyah dari Afrika Utara menyusun kekuatan untuk memerdekakan diri. Gerakan yang membangkitkan negara baru ini merupakan gerakan bahwa tanah yang tidak bisa ditelusuri secara jelas. Namun, gerakan ini merupakan cabang dari Syi’ah Islamiyah, yang mengakui enam Imam pertama Syi’ah Islamiyah, namun berselisih mengenai Imam ketujuh. Bagi kaum Imamiyah, Musa al-Kazim putra Ja’far al-Sahdiq adalah imam yang ketujuh, sedangkan kaum Ismailiyah mengakui Ismail sebagai Imam Ketujuh. Bagi golongan Ismailiyah, karena Ismail wafat lebih dahulu dari bapaknya, hak maka yang dinobatkan adalah Musa al-Kazim. Sementara menurut pengikut Ismail, hak atas Ismail sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggal[3].
Sejak pemimpin ketujuh mereka, Ismail meninggal, aktivitas aliran Ismailiyah dimulai karena khalifah-khalifah Abbasiyah mengadakan penyelidikan, maka golongan yang setia kepada Ismail bin Ja’far terpaksa harus meninggalkan Salamiyah, kota kecil di wilayah Hammah, Syria, menuju Afrika Utara. Di sini mereka mulai melancarkan propaganda politik untuk memperoleh dukungan rakyat. Gerakan ini dipimpin oleh seorang orator handal Ismailiyah bernama Abu Abdullah, yang dikenal dengan sebutan al-Syi’i. Propaganda mereka meliputi: akan memperbaiki kehidupan ekonomi dan sosial kemasyarakatan, munculnya al-Madi yang akan membebaskan rakyat dari penindasan dan teror, menyatakan bahwa mereka akan lebih dekat kepada Nabi dari pada Dinasti Ummayyah dan Abbasiyah[4].
Gerakan Fathimiyah di bawah pimpinan Ubaidillah al-Mahdi, berakar pada sekte Syiah Islamiyah yang doktrin-doktrinya berdimensi politik, agama, filsafat, dan sosial. Keyakinan sekte Islamiyah mengingatkan kita pada ajaran komunis awal, dengan sel-sel rahasia, sistem doktrin yang rumit, dan jaringan sistem propaganda yang luas untuk melawan tata sosial mapan.
Menjelang tahun 909 gerakan ini sudah memperoleh banyak dukungan sehingga mampu mengusir Dinasti Aghlabi dari Afrika Utara dan menjadi penguasa. Abu Abdullah mengundang Ubaidillah yang mereka klaim sebagai al-Mahdi dan Januari 910 menjabat sebagai Amirul Mukminin[5]. Dengan demikian resmilah berdiri sebuah dinasti baru yang bernama Dinasti Fathimiyah dengan Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama, pendukung Ubaidillah adalah suku-suku Barbar yang berpindah-pindah, yang juga telah menjadi pengikut Syi’ah Ismailiyah. Mereka bersikap melawan kaum Aghlabiyah yang terdiri dari suku bangsa Arab aliran sunni dan terikat dengan penguasa Abbasiyah. Suku Barbar ini berpotensi untuk memberontak terhadap penguasa di Baghdad, karena masih satu keturunan dengan penguasa Bani Ummayyah yang digulingkan Bani Abbasiyah di Baghdad[6]. Artinya posisi saat itu, gerakan ini merupakan oposan dari rezim berkuasa Abbasiyah.
Itulah alasan Tunisia dijadikan basis untuk membangun kekuasaan dunia Islam baru, guna menggeser kekuasaan Abbasiyah. Di Afrika Utara, kekuasaan mereka segera menjadi besar. Tahun 909 mereka dapat menguasai Dinasti Rustamiyah dan menyerang Bani Idrisyiyah yang sedang menguasai Maroko. Perang antar daerah kekuasaan Islam antar dinasti menjadi fenomena yang tidak dapat diselesaikan oleh Abbasiyah sebagai rezim yang berkuasa.  di negeri Maghrib (sekitar Maroko sekarang) dengan Qairawan sebagai ibu kota negaranya.
Seiringan dengan berkembangnya kekuasaan Fathimiyah di sekitar daerah Maghrib, timbul cita-cita besar khalifah al-Mahdi untuk menjadikan Dinastinya sebagai pemegang kekuasaan di dunia Islam kala itu, sekaligus menyebarkan mazhab Syi’ah yang dipakai di kalangan Fathimiyah. Keinginan ini tentunya hanya bisa terwujud jika sanggup menaklukkan Daulah Abbasiyah di kawasan timur negeri Islam (sekitar Baghdad) yang saat itu memegang kontrol di sebagian besar daerah-daerah Islam.Untuk mewujudkan cita-cita besar tersebut, al-Mahdi segera mengatur rencana dan sebagai terget awal adalah bagaimana menguasai kawasan Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Syam (sekitar Syiria sekarang).
Menakhlukkan dua kawasan tersebut tidaklah mudah, karena ada dua penghalang yang dapat menggagalkan rencana khalifah  al-Mahdi , Yaitu :
- Pertama dari sisi pengaruh politik, kawasan Hijaz dan Syam saat itu berada dalam pengaruh kuat Ikhsyidiyah yang berpusat  di Mesir.
- Kedua dari sisi geografis, negeri Mesir yang menjadi pusat daulah Ikhsyidiyah adalah negeri Abbasiyah pertama yang berbatasan langsung dengan kekuasaan Fathimiyah dan berada di antara negeri Maghrib dan kawasan Hijaz dan Syam, sehingga posisi Maghrib sangat tidak menguntungkan sekali secara politik dan militer jika mereka langsung melakukan penyerangan ke Hijaz dan Syam.
Dengan mempertimbangkan hal di atas, mereka memastikan bahwa mereka memang perlu menaklukkan Mesir dan Ikhsyidiyah yang memiliki posisi geografis lebih menguntungan secara politik dan militer.
Keinginan khalifah al-Mahdi untuk menaklukkan Mesir tidak dapat dibendung lagi, tiga kali penyerangan dilancarkan :
- Serangan pertama dilancarkan pada tahun 301 H./913 M. Namun serangan tersebut menemui kegagalan.
- Serangan kedua pada tahun 307 H./919 M. Ia kembali mengadakan penyerangan, sayang hasilnya tetap nihil.
- Serangan ketiga pada tahun 321 H./933 M. Ia mengirim pasukan untuk yang ketiga kalinya, usaha ini terus dilanjutkan sampai masa anaknya al-Qaim Biamrillah diangkat menjaid khalifah kedua Fathimiyah, namun hasilnya juga belum memuaskan, bahkan di sisa-sisa masa jabatan al-Qaim, ia lebih sibuk mengurusi gejolak-gejolak yang terjadi di dalam negerinya, sehingga kegiatan agresi militer ke Mesir mengalami kevakuman.Keadaan seperti ini terus berlanjut di sepanjang masa pemerintahan khalifah ketiga Bani Fathimiyah, al-Mansur Binasrillah (334 H.-341 H./945 M.-952 M.).Kondisi dalam negeri membaik ketika khalifah keempat, al-Muiz Lidinillah, naik tahta di akhir tahun 341 H./953 M.
Seluruh suku bangsa Barbar yang sebelumnya membangkang dapat “dijinakkan” saat itu, kemudian Bani Idrisiyah yang memberontak dan ingin melepaskan diri dapat juga ditaklukkan.
            Pada tahun 914 M, Ziyadatullah bin Qurhub, seorang bangsawan Arab, muncul di Palermo menolak kehadiran Dinasti Fathimiyah di Sycilia. Ia berafiliasi kepada Khalifah Abbasyiah di Bagdad (masa Al-Muqtadir 908-932 M). Ia juga adalah penganut Madzhab Sunni dan dekat dengan keluarga Aghlaby, serta mendapat sokongan yang sangat kuat dari para ulama-ulama madzhab maliki. Para ulama ini secara massif  berimigrasi dari Afrika Utara untuk menghindari tekanan Dinasti fathimiyah yang Syi’ah. Ziyadatullah terus-menerus antara tahun 915-916 M melakukan penyerangan terhadap tanah-tanah Italia, dan Eusthatius di Calabria wakil kerajaan Bizantium terpaksa harus membayar upeti kepadanya. Akan tetapi, pada akhirnya ia ditangkap oleh dinasti Fathimiyah.
Keberhasilan dari sisi internal ini ternyata menjadikan kekuasaan Daulah Fathimiyah meluas, membentang dari barat Tripoli (Libiya sekarang) disebelah timur sampai Samudera Atlantik di sebelah barat.
Ketika itulah keinginan untuk menguasai Mesir kembali muncul. Keinginan ini juga diperkuat dengan beberapa alasan-alasan baru, diantaranya:
a. Meninggalnya Kafur al-Ikhsyidi tahun 357 H./968 M. yang merupakan wali Mesir sejak dua tahun sebelumnya.
b. Terjadinya krisis ekonomi di Mesir. Berkali-kali terjadi banjir di Mesir selama kurun sembilan tahun yang menyebabkan lahan pertanian menjadi sempit dan otomatis harga bahan pangan menjadi mahal serta diikuti dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok lainnya sehingga terjadilah bencana kelaparan di Mesir dan menyebarnya wabah penyakit di kalangan penduduk Mesir.
c. Kekacauan di bidang ekonomi ini merambat ke bidang militer, dimana terjadi perpecahan antara pemimpin-pemimpin militer negara. Situasi ini menambah kemarahan publik terhadap penguasa saat itu berlipat ganda.
d. Sekelompok golongan ekstrim Syi’ah yang disebut Qaramithah terus berusaha mengerogoti kawasan timur Mesir, dan kebetulan sekali beberapa anggota kelompok ini memiliki hubungan baik dengan Dinasti Fathimiyah.
Awalnya golongan Qaramithah inilah yang melakukan gencaran ke Mesir sehingga muncul kecemasan di kalangan publik, dalam kondisi tidak menentu ini sejumlah orang Fathimiyah telah bermain di dalam masyarakat Mesir untuk misi propaganda dan pengendalian opini publik agar mereka siap dengan masuknya penguasa baru di Mesir.Dilain pihak Abbasiyah di Baghdad tidak sangup mengirim pasukannya untuk mengatasi krisis di Mesir.Dengan memperhatikan kondisi internal dan eksternal yang demikian maka khalifah al-Muiz memberanikan diri meneruskan cita-cita pendahulunya yang belum menuai hasil maksimal.
Singkat cerita, selanjutnya khalifah Fathimiyah, al-Muiz Lidinillah , menyerahkan tanggungjawab penaklukan Mesir kepada panglima perangnya Jauhar ash-Shiqli yang sebelumnya berhasil meluaskan kekuasaan Fathimiyah sampai ke pantai Samudera Atlantik (barat Maroko sekarang).
Untuk penyerangan kali ini al-Muiz menyiapkan pasukan dengan kekuatan yang cukup besar dengan menempatkan seratus ribu pasukan berkuda di dalamnya. Sepertinya khalifah al-Muiz tidak ingin mengulangi kekalahan yang diderita pada tiga agresi sebelumnya.Sebelum pengiriman pasukan dimulai, al-Muiz melakukan serangkaian persiapan-persiapan untuk menunjang kelancaran serangan ini, diantaranya pembangunan jalan dan jalur-jalur penghubung ke Mesir, penggalian sumur-sumur, pendirian tempat-tempat istirahat dan tidak lupa pendanaan dalam skala besar.Di saat semua persiapan dirasa cukup maka mulailah khalifah al-Muiz melepas kepergian pasukannya di bawah komando panglima Jauhar ash-Shiqli pada 14 Rabi’ul Akhir 358 H./7 Maret 969 M.
Pasca beberapa seremonial pelepasan, berangkatlah pasukan besar itu menuju arah Mesir. Dan ketika al-Muiz kembali ke istananya, ia mengirimkan pakaian kebesarannya yang baru saja dipakai dalam seremonial tadi kepada Jauhar as-Shiqli kecuali cincin khalifahnya.
Setelah beberapa hari perjalanan, Jauhar dan pasukannya masuk Mesir melalui Iskandariyah (Alexandria). Ketika berita ini sampai di Fusthat, Ja’far al-Furat (menteri Mesir) dan orang-orangnya mengajukan permohonan perlindungan keamanan. Pada 18 Rajab 358 H mereka menyusun sebuah pertemuan dengan pihak Jauhar. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan yang menyatakan bahwa Jauhar akan memberikan keamanan dan kedatangannya ke Mesir adalah dalam rangka perbaikan serta tidak memaksakan mazhab Syi’ah pada masyarakat Mesir yang Sunni. Ternyata fakta di lapangan berkata lain, sebagian besar tentara Mesir tidak setuju dengan nota kesepakatan tersebut, sehingga terjadilah pertempuran yang berakhir dengan kekalahan pasukan mesir yang tidak setuju.
Pada sore 17 Sya’ban 358 H./6 Juli 969 M. Jauhar ash-Shiqli beserta pasukannya masuk bagian kota Mesir yang kala itu mencakup kawasan Fusthat dan ‘Askar. Dan Jauhar mengambil sebuah tempat luas yang berposisi menghadap kedua kota tersebut sebagai markas pasukannya, tempat itu disebut Munakh.
Dengan masuknya pasukan Dinasti Fathimiyah ke Mesir berarti berakhirlah masa pendudukan Mesir di bawah kekuasaan Ikhsyidiyah dan Abbasiyah, dan mulailah Mesir memasuki babak baru di bawah kekuasaan Dinasti Fathimiyah. Sebagaimana tradisi kaum muslimin sebelumnya, maka setelah berhasil menduduki Mesir, Jauhar segera mendirikan sebuah kota sebagai lambang kekuatan sekaligus kemenangan sisi politik dan militer Daulah Fathimiyah atas Daulah Abbasiyah di Mesir. Bahkan ketika itu Jauhar menghapuskan dan melarang pemakaian semua simbol-simbol Abbasiyah.
Kota tersebut dinamai oleh Jauhar ash-Shiqli dengan Mansuriyah, mengambil nama khalifah Fathimiyah ketiga yang merupakan orang tua khalifah al-Muiz sendiri. Mungkin Jauhar ingin kedudukannya di mata al-Muiz semakin tingi dengan menamai kota baru mereka dengan nama orang tua Sang Khalifah. Nama ini terus dipakai selama empat tahun, sampai di saat kedatangan khalifah al-Muiz ke Mesir ia menggantinya dengan nama al-Qahirah atau yang lebih kita kenal dengan Kairo.

Al-Qahirah atau al-Qahir sendiri dalam bahasa arab berarti yang perkasa atau kuat, konon sebab penamaan kota ini demikian karena al-Muiz sendiri adalah seorang yang cenderung optimistik. Pemilihan nama itupun sebenarnya telah muncul di benak al-Muiz semenjak ia berada di negeri Maghrib, bahkan sebelum Jauhar ash-Shiqli beserta pasukannya melangkah menuju negeri baru ini, tepatnya ketika ia menyampaikan pidato pelepasan pasukan:” demi Allah, walaupun Jauhar ini berangkat seorang diri saja niscaya Mesir akan dapat ditundukkan juga, ia akan memasuki Mesir tanpa peperangan, kemudian menetap di reruntuhan Ibnu Touloun dan medirikan sebuah kota bernama al-Qahirah (yang perkasa) yang akan menaklukkan dunia”.
Prof. Ahmad Hasan al-Baquri, mantan rektor Universitas al-Azhar, pernah menyebutkan alasan lain pemilihan nama al-Qahirah:” ketika Presiden Jamal Abdul Naser berada di kota Qairawan, beliau mengunjungi sebuah masjid di sana yang bangunannya mirip dengan bangunan al-Azhar dan di sampingnya terdapat sebuah ruangan. Teman-teman dekatnya memberitahu bahwa dahulu ruangan itu adalah tempat penyimpanan harta dan senjata, dan mereka dulu menamakan ruangan tersebut dengan al-Qahirah. Dengan nama inilah dinamai kota al-Qahirah (Kairo) setelah Fathimiyah menaklukkan negeri Mesir, tambah mereka.”
Di lain riwayat disebutkan juga bahwa yang menamai kota ini dengan al-Qahirah bukan Khalifah, namun Jauhar sendiri terinspirasi dari planet Mars, yang menurut ahli bintang/falak masa lalu merupakan raja planet/bintang (qahirul falak). Karena menurut riwayat ini ketika pembangunan kota akan dimulai, para ahli bintang mengelilingi pondasi kota dengan tali dan pada tali itu digantungkanlah lonceng-lonceng, kemudian mereka mulai menunggu bintang yang muncul, di saat itulah hinggap burung di atas tali tadi yang menyebabkan lonceng-lonceng tersebut berbunyi dan mereka mendapati bintang kejora (planet mars) telah muncul di ufuk, maka mulailah para pekerja mengayunkan tangan-tangan mereka, mulai membangun kota itu, dan kemudian dinamailah kota itu dengan al-Qahirah.
Terlepas dari beragam versi di atas, di beberapa kesempatan nama al-Qahirah juga biasa disebut al-Qahirah al-Muiziyah dengan menisbahkan nama khalifah al-Muiz kepadanya, atau al-Qahirah al-Mahrusah karena dinding pagarnya yang tinggi dan pintu-pintunya yang besar.
Dari segi posisi, kota al-Qahirah ini terletak di sebelah timur Fusthat, berbentuk persegi empat yang panjang sisinya 1200 meter dan dikelilingi oleh pagar yang besar. Waktu itu ia mencakup daerah al-Azhar, Gamaliyah, Husainiyah, Babu asy-Sya’riyah, Moski, Ghouriyah dan Bab al-Khalq.
Di sisi timur pagar kota, tepatnya di tempat yang dijadikan Jauhar sebagai markas pasukannya, dibangun juga sebuah istana untuk khalifah al-Muiz. Disekitar kawasan inilah berpusat pemerintahan Fathimiyah kala itu, di sana juga dibangun gudang-gudang senjata.
Namun, di masa-masa awalnya Kairo belumlah menjadi sebuah ibu kota melainkan hanya kumpulan dari istana-istana besar, Jami’ al-Azhar, barak-barak militer dan pemukiman kabilah-kabilah dari Maghrib. Sementara itu Fusthat yang berada di pinggir Nil masih berfungsi sebagai pusat perdagangan dan selalu setia meyambut kedatangan kapal-kapal Nil dari daerah-daerah selatan yang mengangkut hasil-hasil pertanian, ia juga masih menjadi kota terbesar bagi para pencari kerja dan pencari ilmu & pengetahuan.
Maka dengan berdirinya al-Qahirah atau Kairo berarti ia adalah kota Islam keempat yang didirikan dalam selang waktu 338 tahun sejak Amru bin Ash mendirikan kota Fusthat tahun 20 H. Dan takdir telah menjadikan jejak-jejak kebesaran tiga kota sebelumnya terhapus sedangkan Kairo tetap kokoh sampai saat ini sebagai ibu kota Mesir dan kota terbesar dalam dunia Islam-selain Istambul ketika menjadi ibu kota Dinasti Utsmani serta menjadi pusat perkembangan peradaban dari sisi agama, pemikiran dan pengetahuan dalam dunia Islam dan Arab khususnya.
Setelah Mesir dapat dikuasai, maka fokus politik Dinasti Fathimiyah selanjut adalah mendirikan ibu kota baru yang terletak di Fusfat bagian Utara, yang mereka sebut dengan al-Qahirah, yang berarti sang penakluk. Sejak itu penampilan Fusfat semakin cemerlang dan mampu menjadi pesaing Kota Baghdad sebagai pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah. Disamping itu, dinasti ini juga berupaya untuk menyebar luas ideologi Fathimiyah ke Palestina, Syiria dan Hijaz.[7]
Keberadaan Dinasti Fathimiyah berbeda dengan dinasti-dinasti kecil lainnya. Dinasti Fathimiyah mengklaim diri sebagai kekhalifahan yang memegang pimpinan politik dan spritual tertinggi. Mereka tidak mengaku bagian dari Abbasiyah, mereka melepaskan diri dari Baghdad, tidak hanya dari segi politik, tetapi juga spritual. Sementara dinasti-dinasti kecil lainnya walaupun secara politik melepas dari dinasti Abbasiyah, namun secara spiritual mereka tetap terikat. Inilah yang membedakan Dinasti Fathimiyah dengan dinasti-dinasti lokal lainnya.
Khalifah-khalifah yang memimpin Dinasti Fathimiyah ada 14 orang, yaitu:

- Abu Muhammad Abdullah (Ubaidillah) al-Mahdi billah (910-934). Pendiri.
- Abu Muhammad al-Qa’im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946)
- Abu Kahir Ismail al-Mansur bi-llah (946-953)
- Abu Tamim Ma’add al-Mu’izz li-Din Allah (953-975) Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.
- Abu Mansur Nizar al-’Aziz bi-llah (975-996)
- Abu Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996-1021)
- Abu Hasan Ali al-Zahir li-I’zaz Din Allah (1021-1036)
- Abu Tamim Ma’add al-Mustansir bi-llah (1036-1094)
- Al-Musta’li bi-llah (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
- al-Amir bi-Ahkam Allah (1101-1130) Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
- Abd al-Majid al-Hafiz (1130-1149)
- al-Zafir (1149-1154)
- al-Faiz (1154-1160)
- al-Adid (1160-1171)[8]
Sebagai catatan penting, Dinasti Fathimiyah ini hanya sampai khalifah kedelapan yang memperlihatkan eksistensi politik dan kekuasaannya, selebih dari itu, keberadaannya hanya sebagai dinasti lemah.

C. KEMAJUAN DINASTI FATHIMIYAH

Dinasti Fathimiyah mencapai puncak kejayaannya pada periode Mesir, terutama di bawah pemerintahan al-Muiz dan al-Hakim dengan kota Kairo sebagai pusat pemerintahan. Ketika itu di sana terdapat lebih kurang 20.000 toko milik khalifah, yang penuh dengan barang dari dalam dan luar negeri. Tempat pemandian dan sarana umum lainnya juga didirikan oleh penguasa. Istana khalifah dihuni oleh 30.000 orang, 12.000 di antaranya pembantu dan 10.000 orang pengawal berkuda. Tentu bila dibandingkan dengan pola kekuasaan abad ini, justru pegawai terbayak adalah pegawai istana pemerintahan, kecuali bila dihitung aparatur pemerintah setiap daerah dari yang teratas hingga paling bawah.
Al-Muiz melakukan tiga kebijakan besar, yaitu pembaruan di bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama.[9] Di bidang administrasi, ia mengangkat seorang menteri (wazir) untuk melaksanakan tugas kenegaraan. Di bidang ekonomi, ia memberikan gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Di bidang agama, di Mesir didirikan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Sy’iah dan dua lagi untuk Sunni. Ini memperlihat kerukunan dua aliran di Dinasti Fathimiyah.
Al-Aziz kemudian memunculkan program baru dengan mendirikan masjid, istana, jembatan dan kanal sehingga Dinasti Fathimiyah akhirnya dikenal dengan kekuatan maritim yang tangguh. Kenyataannya, mereka berhasil membangun pertahanan maritim dan menjadi pusat perdagangan laut ketimbang menyebarluaskan ajaran dan ideologi mereka.[10]
Sementara itu, pada masa Khalifah al-Hakim, mendirikan Dar al-Hikmah, sebuah lembaga pusat pengkajian dan pengajaran ilmu kedokteran dan astronomi. Ia juga mendirikan Dar al-Ilmi, sebuah lembaga dengan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013, al-Hakim membentuk majelis ilmu pengetahuan di istana sebagai tempat berkumpulnya para ilmuwan untuk berdiskusi. Pada masa ini, muncul Ibnu Yunus (958-1009), seorang astronom besar yang menemukan pendulum dan alat ukur waktu. Karyanya, Zij al-Alibar al-Hakimi diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Temuan Ibnu Yunus kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Al-Nabdi dan Hasan Haitani (965-1039), seorang astronom, fisikawan dan opoteker.[11]
Kemajuan yang tinggi pada peradaban Islam masa Fathimiyah dapat disimpulkan meliputi  bidang :
1-      Administrasi dan pemerintahan
2-      Ekonomi
3-      Seni dan kemegahan pembangunan fisik
4-      Ilmu pengetahuan dan kesusastraan
Dinasti Fathimiyah juga terkenal dengan toleransi beragamanya. Para penguasa Fathimiyah tidak mencoba melakukan tekanan agar penganut sunni menyeberang ke Syi’ah Ismailiyah. Mereka juga sangat menghargai kemerdekaan agama Kristen maupun Yahudi. Satu-satunya pengecualian adalah pada masa khalifah al-Hakim, karena ia melakukan pembantaian terhadap penganut agama Kristen, menghancurkan gereja, membunuhi anjing serta mengharamkan jenis makanan tertentu. Di samping itu, ia memproklamirkan sebagai Tuhan dan ia dianggap gila.[12] Inilah titik awal dan alasan terjadinya perang dingin dan meletus menjadi perang Salib nantinya.
Mesir dengan segera menjadi pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah, menyaingi Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Mesir juga menjadi pusat pengembangan intelektual dan keilmuan dengan keberadaan Universitas al-Azhar (970). Pada awal didirikan hingga dua abad kemudian al-Azhar telah memainkan peranan penting, sebagai pusat propaganda ajaran Ismailiyah oleh Dinasti Fathimiyah, Sampai nanti Salahuddin al-Ayyubi menguasai Mesir dan menjadikan Sunni sebagai mazhab pengganti Syi’ah. Namun begitu, Kairo tetap mampu menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Dunia Islam.
Namun pada periode sesudahnya, dinasti ini melemah, terutama saat menghadapi tentara perang salib dan kaum sunni. Disamping itu, khalifahnya sering kali berusia muda dan suka berfoya-foya. Sementara itu, kalangan pejabatan terjadi perebutan kekuasaan.

D. KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN

Kemunduran yang dialami Dinasti Fathimiyah sudah mulai ada pada masa al-Hakim Masa pemerintahannya, ditandai dengan sifat aneh, karena ia membuat kebijakan menghancurkan gereja suci di Yerusalem, yang kelak akhirnya menjadi salah satu peristiwa yang melatar belakangi pecahnya perang salib. Ia juga secara umum menyatakan diri sebaga Tuhan, sebuah klaim yang menimbulkan polemik yang dahsyat di kalangan umat Islam dan ia dipaksa mencabut pernyataan tersebut. Inilah akhirnya menjadi akar melemahnya dukungan politik terhadap kepemimpinan al-Hakim, sehingga pada tahun 1094 terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh panglima militer, al-Afzal Sahinsyah.
Sementara itu terjadi kekacauan sekitar permasalahan suksesi di masa pemerintahan khalifah al-Musta’ali. Nizar, putera Musta’ali yang tertua dihukum penjara hingga meninggal, namun pengikut Nizar meyakini bahwa Nizar masih hidup. Ini menimbulkan kekacauan dan melahirkan dua kubu yang saling bersaing, yaitu kubu Must’aliyah dan kubu Nizariyah.
Keretakan antara Nizariyah dan Musta’aliyah menimbulkan cabang baru Islamiyah. Putra Al-Musta’ali yang bernama al-Amir menggantikan ayahnya sebagai penguasa di Mesir masih berusia anak-anak, al-Amir akhirnya menjadi korban pembunuhan pada tahun 1130. Sepeninggal al-Amir, Dinasti Fathimiyah semakin mengalami kemunduran. Pada saat itu, timbul pertentangan paham keagamaan antara kalangan penguasaan dengan mayoritas masyarakat yang menganut Sunni. Sejumlah kelompok kecil mengikuti imam mereka masing-masing dan mengabaikan klaim penguasa Fathimiyah.
Pada masa pemerintah al-Adid, Dinasti Fathimiyah mendapat kesulitan untuk menahan masuk tentara salib ke Mesir. Maka pada khalifah al-Adid meminta bantuan kepada Nurddin Zanki. Nurddin akhirnya mengutuskan Shalahuddin al-Ayubi yang membawa tentara ke Mesir untuk menghalau tentara Salib. Karena keberhasilannya, dia diangkat menjadi menteri di Mesir, di bawah Fathimiyah tentunya. Namun khalifah al-Adid amat tua untuk memimpin dan tekanan politik makin tinggi, sementara keberhasila Shalahuddin al-Ayubi membuat dukungan atasnya menjadi khalifah sangat kuat. Pada akhirnya, Shalahuddin al-Ayubi bisa menjadi khalifah dan mengakhiri Dinasti Fathimiyah.
Faktor yang menyebabkan kemunduran Fathimiyah terlebih sesudah berakhirnya masa al-Aziz,adalah khalifah yang diangkat pada usia masih sangat belia.hal ini membuat mereka menjadi boneka para wazir dan timbul konflik kepentingan di kalangan pejabat istana serta di kalangan militer antara unsur Barbar, Turki, Bani Hamdan, dan Sudan. Terlebih lagi, para penguasa itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideologi Syiah kepada rakyat yang mayoritas sunni.  
Kepemimpin Shalahuddin al-Ayubi mengubah corak kekuasaan sebelumnya, dari Syi’ah beralih ke Sunni. Sehingga disebut Dinasti Sunni al-Ayyubiyah. Shalahuddin al-Ayubi sebagai pendirinya.
Sekalipun Fathimiyah runtuh di Mesir, namun beberapa kelompok kecil Ismailiyah masih bertahan di Syiria, Persia dan Asia Tengah. Serta ia mengalami perkembangan pesat di India. Artinya, setelah runtuh, sebuah kekuatan tidak serta merta lenyap, tetapi masih ada dan bertahan, atau setidaknya tumbuh di tempat lain.

E. PENUTUP

Selama dua abad keberadaan Dinasti Fathimiyah menguasai Mesir, telah memberikan sumbangan peradaban yang besar. Kemajuan terbesar adalah memberikan ruang berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam dan keberadaan Universitas al-Azhar sebagai pusat pengkajian ilmu pengetahuan masih terasa hingga kini. Ada banyak ilmuwan yang lahir pada era dinasti satu ini, berbagai bidang ilmu pengetahuan juga menarik untuk ditelusuri lebih lanjut.
Sebagai catatan penting adalah, dinasti ini telah sukses menyumbangkan peradaban dalam bentuk bidang ilmu pengetahuan seperti mendirikan pusat pendidikan al-Azhar, Dar al-Hikmah dan Dar al-Ilmi. Memiliki dan menciptakan administrasi pemerintahan. Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memaksimalkan pengembangan pertanian sehingga Dinasti Fathimiyah terkenal dengan penghasil gandum dan kapas terbesar pada waktu itu.
Terlepas klaim sebagai keturunan nabi yang masih diperdebatkan dan salah seorang khalifah tidak mencerminkan kepemimpinan yang ideal, namun yang jelas sumbangan dinasti ini merupakan sumbangan berharga.







BAB III
Kesimpulan
1-      Dinasti Fathimiyah didirikan oleh al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah pada tahun 297 H/ 909 M Sampai 567 H/ 1171 M selama kurang lebih 262 tahun.
2-      Gerakan Fathimiyah berakar pada sekte Syi’ah Islamiyah, yang doktrin-doktrinya berdimensi politik, agama, filsafat, dan sosial.
3-      Seiringan dengan berkembangnya kekuasaan Fathimiyah di sekitar daerah Maghrib, timbul cita-cita besar khalifah al-Mahdi untuk menjadikan Dinastinya sebagai pemegang kekuasaan di dunia Islam kala itu, sekaligus menyebarkan mazhab Syi’ah yang dipakai di kalangan Fathimiyah.
4-      Dengan beberapa pertimbangkan, mereka memastikan bahwa mereka perlu menaklukkan Mesir dan Ikhsyidiyah yang memiliki posisi geografis lebih menguntungan secara politik dan militer.Sehingga dilakukan tiga kali penyerangan ke Mesir namun belum berhasil, dan penakhlukan Mesir dapat di capai pada masa khalifah al-Muiz Lidinillah. Dan berhasil pada sore 17 Sya’ban 358 H./6 Juli 969 M
5-      Dinasti Fathimiyah mencapai puncak kejayaannya pada periode Mesir, terutama di bawah pemerintahan al-Muizz dan al-Hakim dengan kota Kairo sebagai pusat pemerintahan. Al-Muiz melakukan tiga kebijakan besar, yaitu pembaruan di bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama.
6-      Pada masa Khalifah al-Hakim, didirikan Dar al-Hikmah, sebuah lembaga pusat pengkajian dan pengajaran ilmu kedokteran dan astronomi. Ia juga mendirikan Dar al-Ilmi, sebuah lembaga dengan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
7-      Kepemimpin Shalahuddin al-Ayubi mengubah corak kekuasaan sebelumnya, dari Syi’ah beralih ke Sunni. Sehingga disebut Dinasti Sunni al-Ayyubiyah. Dengan Shalahuddin al-Ayubi sebagai pendirinya.


DAFTAR PUSTAKA

- Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo, 1995
- Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Ahmadie Toha Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006
-G. E. Boswort, Dinasti-Dinasti Islam, judul Asli, The Islamic Dynasties oleh Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993
-Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 2002
-W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, diterjemahkan oleh Hartonom Hadikusuma, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990
-Abu Su’ud, Islamogy, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
-Cyrel Glase, Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002
-Zaenal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1979
- Josoef Sou’eb, Sejarah Dahulah Abbasiyah II, Jakarta: Bulan Bintang, 1977
- M. Natsir Arsyad, Ilmuwan, Muslim Sepanjang Sejarah, Bandung: Mizan, 1990
- Ajid Thohir, Perkembangan peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : PT. Rajawali,  2004
- Abu Su’ud, Dr, Prof, Islamologi Sejarah Ajaran dan peranannya dalam Peradaban Umat manusia,Bineka Cipta, 2003
- Mansur, Drs, MA, Peradaban Islam dalam Lintasan sejarah, Yogyakarta, Global Pustaka Utama, 2004



([1])Di antara dinasti-dinasti yang melepas diri dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, Dinasti Fathimiyah di Mesir yang langsung mengaku Khalifah, Ikhsyidyah di Mesir dan Syiria, Hamdan di Aleppo dari Lembah Fusfat, Ghaznawi di Ghazna dekat Kabul dan Dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari tanban Bani Buwaih. Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 1995), hal. 63. Masa 1000-1250 M disebut para serajawran sebagai masa disintegrasi di dunia Islam.

([2])Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Ahmadie Toha (Jakarta: Putaka Firdaus, 2006), hal. 191-192

([3]) G. E. Boswort, Dinasti-Dinasti Islam, diterjemahkan dari The Islamic Dynasties oleh Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 17.


([4])Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 2002), hal. 80-81.

([5]) W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, diterjemahkan oleh Hartonom Hadikusuma, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 172
([6]) Abu Su’ud, Islamogy, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 19. Lihat juga Cyrel Glase, Ensiklopedia Islam, (Jakarata: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 97.

([7]) Zaenal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1979), hal. 109.
([8]) http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Al-Mahdi_Ubaidillah&action=edit, diakses Senin, 31 Desember 2007, pukul 20.00 WIB.


([9]) Josoef Sou’eb, Sejarah Dahulah Abbasiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 234-235
([10]) Abu Su’ud, op.cit, hal.92
([11]) M. Natsir Arsyad, Ilmuwan, Muslim Sepanjang Sejarah, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 24

([12]) Cyril Galsse, op.cit, hal. 97

1 komentar:

  1. Assalammualaikum... mabrook,, sungguh bagus perkongsian mngenai dinasti fatimiyyah... teman, ada rujukan berkenaan dinasti RUSTAMIYYAH tak? mohon ya dibalas.

    BalasHapus