Minggu, 03 Maret 2013

Mahabbah dan Ma'rifah


MAHABBAH DAN MA'RIFAH
BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG

“Mahabbah” adalah cinta, atau cinta yang luhur  kepada Tuhan yang suci dan tanpa syarat,tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah, yaitu: keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh seorang ahli yang menyelaminya. Didalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns).
Sedangkan Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah tercapai ma’rifat.  
Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Mahabbah dan Ma’rifah beserta tujuan, kedudukan, paham, tokoh sufi,serta mahabah dan ma’rifah dalam pandangan al-Qur’an dan al hadits, Maka jika ada kesalahan yang sekiranya di luar kesadaran, kami siap menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian.
  1. RUMUSAN MASALAH
A ) Apakah pengertian dari Mahabbah dan Ma’rifah ?
B ) Apakah tujuan dan kedudukan Mahabbah dan Ma’rifah menurut paham   tokoh sufi ?
C ) Bagaimanakah Mahabbah dan Ma’rifah menurut pandangan al-Qur’an dan al- Hadits ?


BAB II
                                                    PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MAHABBAH DAN MA’RIFAH
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan yang mendalam. Dalam Mu'jam al-Fal-safi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Pengertian Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat kepada Allah[1]. Setelah membentuk kepribadian manusia maka mahabbah akan mempengaruhi kualitas keimanan seseorang. Hal ini sesuai dengan firman-Nya: Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah 165).
Pengertian Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman, serta pengetahuan tentang rahasia hakikat agama. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi bathin dengan mengetahui rahasianya. Para sufi mengatakan perihal Ma’rifat adalah :
1. Kalau mata dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah.
2. Makrifat adalah cermin, yang mana yang dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arif saat tidur dan bangun hanyalah Allah.
4. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan dan bentuk keindahannya.
Dikemukakan al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah mahabbah, karena ma’rifat lebih mengacu pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan. Disebutkan dalam sebuah Hadits Qudsi :
كنت خزينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت الخلق فتعر فت اليهم فعرفونى"
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka aku ciptakan mahluk. Maka Aku memperkenalkan DiriKu kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku” (Hadits Qudsi)
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah puncak dari seluruh maqam spiritual dengan derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”. Ma’rifat merupakan karunia pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan. Ma’rifat adalah anugerah Allah yang didasari kasih Tuhan kepada hamba-Nya. Adapun amal ibadah sebagai persembahan hamba kepada Tuhannya.
Adapun cara-cara untuk dapat menuju Mahabbah dan Ma’rifat adalah :
1. Tobat, baik dari dosa besar maupun dosa kecil
2. Zuhud, yaitu mengasingkan diri dari dunia ramai
3. Wara (sufi), mencoba meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat shubhat
4. Faqir, hidup sebagai orang fakir
5. Sabar, dalam menghadapi segala macam cobaan
6. Tawakkal, menyeru sebulat-bulatnya pada keputusan Tuhan
7. Ridha, merasa senang menerima segala takdir.
B. TUJUAN DAN KEDUDUKAN MAHABBAH DAN MA’RIFAH
Al-mahabbah dapat berarti kecenderungan pada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Kata mahabbah selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Jadi, Mahabbah artinya kecintaan yang mendalam secara ruhiah pada Tuhan.
Ma'rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan yang satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu. Selanjutnya ma'rifah digunakan untuk menunjukan salah satu tingkatan dalam tasawuf. Al-Ghazali[2] menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma'rifah tentang Tuhan, yaitu arif, tidak akan mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir. Tujuan ma’rifat adalah berhubungan dengan Allah, dengan kendali jiwa kepada eksistensinya yang intern, wasilahnya adalah spiritual.
Keutamaan mahabbah dijelaskan Rasul dalam haditsnya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a: Seorang lelaki yang berasal dari pedalaman bertanya kepada Rasulullah s.a.w: Bilakah berlakunya Kiamat? Rasulullah s.a.w bersabda: Apakah persediaan kamu untuk menghadapinya? Ia menjawab: Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah s.a.w bersabda: Kamu akan tetap bersama orang yang kamu cintai”.Selain itu Mahabbah dapat mengantarkan hamba yang memiliki kecintaan tersebut di antara penghuni langit. Sebab para malaikat akan selalu mencintai orang-orang yang dicintai oleh Allah atas kedekatannya dengan-Nya, juga karena mereka selalu memenuhi perintah Allah”.
C. PAHAM MAHABBAH DAN MA’RIFAH MENURUT TOKOH SUFI
Paham mahabbah (al hubb) pertama kali diperkenalkan oleh Rabiah Al Adawiyah[3], Paham Mahabbah dan Ma’rifah menurut Tokoh Sufi adalah :
-) Menurut  Abu Yazid al Bustami,"Cinta adalah mengabaikan hal-hal yang datang dari diri, dan memandang besar hal-hal sekecil apapun dari kekasihnya". [4]
-) Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat:
1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan serta senantiasa memuji Tuhan.
2. Cinta orang yang siddiq (الصديق), yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, dan lain-lain yang mana hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
3. Cinta orang yang ‘arif (العارف), yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang damai.
-) Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, bahkan ia melupakan dirinya sendiri.[5] Paham mahabbah mempunyai dasar al-Qur'an,:
( الما ئدة : 54 ).فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”.
Juga hadits yang menyatakan:
وَلاَ يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَا فِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمُعًاوَبَصَرًا وَ يَـدًا
“Hamba-hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.[6]
-) Cinta menurut Ibnu al-‘Arabi menjadi tiga cara berwujud:
1. Cinta Ilahiyah: cinta khaliq kepada makhluk yang diciptakan, dan cinta makhluk kepada khaliqnya.
2. Cinta spiritual: cinta makhluk yang senantiasa mencari wujud Penciptanya. tidak memperdulikan, mengarah atau menghendaki apapun selain sang kekasih.
3. Cinta alami: yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih.
          Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah Zunnun al-Misri.[7]Ia pun pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil.[8] Ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab :
عرفت ربّى بربّى ولو لا ربّى لما عرفت ربّى ""
 “(Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku)”.[9] Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan hasil usahanya sebagai sufi, tetapi anugerah Tuhan baginya. Ma’rifah tidak diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya. Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
1-Tingkat awam. “mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat”.
2-Tingkat Ulama.” yang mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal”.
3- Tingkat Sufi. “ yang mengetahui Tuhan melalui hati sanubari”.
Istilah Tasawwuf menurut beberapa Ulama Tasawuf antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf
"المعرفة جزم القلب بوجود الواجب الموجود متّصفا بسائر الكلمات"
 :“Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.” [10]
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"المعرفة طلوع الحقّ, وهو القلببمواصلة الانوار"
“Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi”[11]
c. Imam Al-Qusyairy dari Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah:
"المعرفة يوجب السكينة فى القلب كما انّ العلم يوجب السّكون, فمن ازدادت معرفته ازدادت سكينته"
“Ma’rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”[12]
keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma’rifat dalam segala sikap dan perilakunya.
b. Tidak memutuskan berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak bagi dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan berada di muka cermin, dan yang dilihatnya hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, puncak ma’rifat adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga membawa pada kelupaan dirinya.[13]
D. MAHABBAH DAN MA’RIFAH DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
            Tentang Mahabbah dapat dijumpai di dalam Al-Qur’an antara lain :
A.Surat Ali Imran ayat 31 :
قل ان كنتم تحبّون اللّه فاتّبعونى يحببكم اللّه و يغفر لكم ذنوبكم و اللّه غفور رحيم.( ال عمران : 31 )
Artinya : Katakanlah : “ jika kamu ( benar-benar ) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan menggampuni dosa-dosamu“. Allah Maha pengasih lagi Maha penyayang”.
B.Surat Al-Ahzab ayat 4 :
ما جعل اللّه لرجل من قلبين فى جو فه ( الأحزاب : 4 )
Artinya : “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya “. ( QS. Al–Ahzab : 4 )
C.Surat Al-Anam ayat 91 :
قل اللّه ثمّ ذرهم فى خوضهم يلعبون ( الأنعام : 91)
Artinya : Katakanlah : “Allahlah ( yang menurunkan )”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-Qur’an kepada mereka ) biarkanlah mereka bermain-main dlam kesesatannya”. ( QS. Al-Anam : 91 )
D.surat Fussilat ayat 30 :
انّ الّذين قالوا ربّنا اللّه ثمّ استقاموا ( فصلت : 30 )
Artinya : Barangsiapa mengucpkan “ la ilaha illa Allah “ secara ikhlas, dia masuk surga”.
E. Surat Ibrahim ayat 24 :
ضرب اللّه مثلا كلمة طيّبة كشجرة طيّبة اصلها ثابت و فرعها فى السماء ( ابرهيم :24 )
Artinya : “Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik,akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”.(QS. Ibrahim : 24)
F. Surat Fatir ayat 10 :
االيه يصعدالكلم الطيّب ( فاطر : 10 )
Artinya : “ Kepada –Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik “.( QS. Fatir: 10 )
G. Hadits Riwayat Abu Hurairah r. a :
من احبّ لقاء اللّه أحبّ اللّه لقاءه، ومن لم يحبلقاءاللّه تعا لى لقاءه ( رواه البخارى )
Artinya : “ Barangsiapa yang senang bertemu kepada Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Barangsiapa yang tidak senang bertemu Allah, maka Allah pun juga tidak senang bertemu dengannya”. ( HR. Bukhori )[14]
H. Hadits Riwayat Anas bin Malik :
من أهان لى وليا فقد بارزني بالمحاربة، وما تردّدت فى شئ كتردّدى في قبش نفس عبدى المؤمن يكره الموت, وأكره مساءته, ملابدّ له منه, وما تقرّب إليّ من أداء ما افترضت عليه, ولا يزال عبدي تقرّب إليّ با النوافل حتّى أ حبّه, و من أحببته كنت له سمعا وبصراويداومؤيّدا.
Artinya : “ Barangsiapa yang menghina wali-Ku ( kekasih-Ku ), sesungguhnya ia telah terang-terangan memerangi-Ku. Tidaklah Aku ragu-ragu melakukan seperti Keraguan-Ku ketika mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman. Dia benci kematian dan saya tidak mau menyakitinya, sedangkan kematian itu pasti ada. Tidak ada sesuatu yang  paling Aku sukai yang bisa mendekatkan hamba-Ku dengan-Ku lebih dari melakukan kewajiban yang Aku perintahkan kepadanya. Dan senantiasa mendekati-Ku dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunat sampai Aku mencintainya. Dan barangsiapa  yang telah Aku cintai, maka Aku mendengar, melihat, menolong, dan mendukung-nya.”[15]
I. Nabi Muhammad SAW bersabda :
إذا أحبّ اللّه عزّوجلّ العبد قال لجبريل : يا جبريل إنّي فلانا فأحبّه, فيحبّه جبريل, ثمّ ينادي جبريل فىأهل السّماء: إنّ الله تعا لى قد أحبّ فلانا فأحبّوه, فيحبّه أهل السماء, ثمّ يضع له القبول في الأرض. وإذا أبغض اللّه عزّوجلّ عبدا قال ما لك: لا أحسبه إلاّ قال في البغض مثل ذلك.
Artinya : “ Jika Allah telah mencintai hamba-nya, Allah berkata kepada Jibril a.s, “ Wahai Jibril, sesungguhnya Aku mecintai fulan, maka cintai dia, Maka Jibril pun mencintainya, Sesungguhnya Allah telah mencintai fulan, maka cintailah dia! Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian Allah memberikan pengabulan kepadanya di bumi. Dan jika Allah membenci seorang hamba, maka Malaikat Malik berkata, Saya tidak menganggapnya kecuali saya membencinya seperti kebencian Allah kepadanya, “ ( HR. Imam Bukhari )[16]
E. PENUTUP
Setelah di raihnya maqam mahabbah tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah). Dalam buku "Mahabbatullah" (mencintai Allah), Imam Ibnu Qayyim menuturkan tahapanan menuju wahana cinta Allah berkaitan dengan amal, yang tergantung pada keikhlasan kalbu, disanalah cinta Allah berlabuh. sebagai refleksi dari disiplin keimanan dan kecintaan yang terpuji, bukan yang tercela dan menjerumuskan kepada cinta selain Allah. Sudah menjadi sifat manusia, ia akan mencintai orang baik, lembut dan suka menolongnya dan bahkan tidak mustahil ia akan menjadikannya sebagai kekasih.
Ketertundukan hati secara total di hadapan Allah, adalah bukti bahwa ma’rifat kepada Allah juga tertanam dalam kalbu kita, berusaha mewujudkannya dalam setiap perbuatan, ibadah dan merealisasikannya dalam kehidupan sehingga kita termasuk dalam golongan ma’rifatullah.
Allah tidak melarang bahkan memerintahkan HambaNya untuk mengenal diriNya, Ma’rifat kepada Tuhan tidak bisa ditemukan meskipun dengan menyembahnya secara benar. Ma’rifat ditemukan dengan cara larut dengan-Nya, melalaikan dunia secara total dan terus-menerus berpikir tentang-Nya.
BAB III
Kesimpulan
1- Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam.Pengertian Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat kepada Allah.
2- Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam kepada bathin, dengan mengetahui rahasianya.
3- Tujuan Mahabbah adalah untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, Sedang Ma’rifah bertujuan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari.
4- Inti ajaran mahabbah adalah merupakan sikap dari jiwa yang  mengisyaratkan ke pengabdian diri atau pengorbanan diri sendiri dengan cara mentransendenkan ego, dan menggantinya dengan cinta.
5- Ma’rifah tidak diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
6- Pembahasan Mahabbah dan ma’rifah dapat ditemukan dalam Ayat-ayat al-Qur’an al-Karim dan Hadits-hadits rasulullah SAW.




DAFTAR PUSTAKA
v  Abul Qasim Abdul Karim hamazin Al Qusyairi an Naisaburi, Risalah Qusyairiyah, Jakarta, Pustaka Amani, 1998
v  Al-Buny, Djamaluddin Ahmad. Menelusuri Taman-taman Mahabbah Shufiyah. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002.
v  Al-Hujwiri. Kasyful Mahjub. Bandung: Mizan, 1993.
v  Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
v  Amin, M. 10 Induk Akhlak Terpuji. Kalam Mulia, 1997.
v  Armstrong, Amatullah. Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung: Mizan, 1996.
v  H. A Mustofa, Drs, Akhlak Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008
v  H. Abudin Nata, MA, Drs, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 1996
v  Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet XI
v  Harun Nasution, Prof. Dr, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), Cetakan III
v  IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983/1984).
v  Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995)
v  Musthafa, Abdul Aziz. Mahabbatullah Tangga menuju Cinta Allah. Surabaya: Risalah Gusti, 1996.



[1] H. A Mustofa, Drs, Akhlak Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008
[2] bagi al-Ghazali ma'rifah urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma'rifah. Tetapi Mahabbah disini tidak seperti yang dimaksudkan Rabi’ah al Adawiyah. mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang pemberi rahmat dan rizki.
[3] Tokoh sufi wanita yang lahir di Basrah (95 H) dan wafat 185 H.
[4] Abul Qasim Abdul Karim hamazin Al Qusyairi an Naisaburi, Risalah Qusyairiyah, Jakarta, Pustaka Amani, 1998.
[5] Ibid.
[6] H. A Mustofa, Drs, Akhlak Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008.
[7] Tokoh sufi yang lahir di Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M, “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”.
[8] Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H  / 861 M.
[9] H. A Mustofa, Drs, Akhlak Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008.
[10] H. A Mustofa, Drs, Akhlak Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008.
[11] Ibid.
[12] H. A Mustofa, Drs, Akhlak Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008.
[13] Ibid.
[14] Hadits riwayat Ubaidah bin Shamit, dikeluarkan oleh Bukhari 11/308 dalam “Ar Raqaqq” bab “ orang-orang yang senang bertemu Allah.
[15] Hadits dikeluarkan oleh Ibnu Abu daud dalam bukunya, Al-Auliya’, Al-Hakim, Ibnu Marduwaih, Abu Nua’im dalam Al-Asma’, dan Ibnu Aakir dari Anas.
[16] Hadits diriwayatkan Abu Hurairah, dikeluarkan oleh Muslim dalam bab “ Berbuat baik dan silaturrahmi”, dan At-Turmudzi dalam At-Tafsir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar