BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap manusia menggunakan definisi dalam menjelaskan
suatu istilah, supaya tidak terjadi kesalah pahaman dapat memahami sesuatu,
karena konsep pemikiran setiap orang tidaklah sama. Seperti halnya seorang
ilmuan yang ditutut untuk mampu membuat suatu definisi dari setiap konsep dan
mampu bernalar dengan baik. Meskipun disadari, definisi belum mampu menampilkan
sesuatu dengan sempurna sesuai dengan pengertian yang dikandungnya.
Dan dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang membutuhkan
adanya konsep klasifikasi atau kategori, karena kita selalu bersinggungan
dengan berbagai benda yang berbeda. Sehingga tanpa adanya pengelompokan
benda-benda, tidak dapat kita bayangkan betapa sulitnya kita menjalani
kehidupan kita, karena setiap hal yang kita temui akan menjadi masalah bagi
kita.
Disamping kedua hal tersebut manusia juga perlu untuk
bernalar atau berlogika, karena definisi hanyalah sebagai gerbang bagi kita
untuk mengenal sebuah kesempurnaan dalam berpikir dan menjelaskan. Namun logika
tetap kita perlukan untuk mencapai ketepatan dalam berpikir. Maka dari pada itu
dalam makalah ini, kami akan menjelaskan tentang maksud dan cakupan dari
definisi, kategori dan hukum dasar logika.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah maksud dan cakupan dari definisi?
2. Bagaimanakah maksud dan cakupan dari kategori?
3. Bagaimanakah maksud dari hukum dasar logika?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui maksud dan cakupan dari definisi.
2. Mengetahui maksud dan cakupan dari kategori.
3. Mengetahui maksud dari hukum dasar logika.
BAB II
DEFINISI, KATEGORI DAN HUKUM DASAR LOGIKA
A. DEFINISI
1. PENGERTIAN DEFINISI
Definisi berasal dari kata Latin definire yang
berarti menandai batas-batas pada sesuatu, menentukan batas, memberi ketentuan
atau batasan arti. Jadi, maksud dari definisi adalah sebuah pernyataan yang
memuat penjelasan tentang arti suatu term (istilah). Dan definisi
terdiri dari: bagian pangkal (definiendum) yaitu sebuah istilah yang
harus diberi penjelasan, dan bagian pembatas (definiens) yaitu sebuah
uraian mengenai arti dari bagian pangkal. Contoh: Manusia adalah makhluk
berakal, dalam definisi tersebut manusia adalah difiniendum dan makhluk
berakal adalah definiens.[1]
Definisi secara etimologi adalah sebuah usaha untuk
memberikan batasan terhadap sesuatu yang dikendaki seseorang, sehingga ia dapat
dipahami oleh orang lain. Dengan kata lain, memberikan definisi adalah
menjelaskan sebuah materi yang hakikatnya mungkin dapat dibahas oleh para
cendekiawan.
Dan pengertian definisi secara terminologi adalah:
sesuatu yang menguraikan makna lafadz kulli dan menjelaskan
karakteristik khusus pada diri individu. Dan penulis memberikan pengertian
definisi sebagai pengurai makna lafadz kulli, karena lafadz juz’i
tidak mempunyai pengertian terminologi dengan adanya perubahan karakteristik
yang konsisten menyertainya.
Sehingga pengertian dari definisi itu harus jami’ wa
mani’ (menyeluruh dan membatasi). Dan hal ini sejalan dengan kata definisi
itu sendiri, yaitu definit (membatasi). Jadi, definisi yang valid dalam
logika perlu batasan yang jelas antara objek-objek yang didefinisikan.[2]
Dan lebih jelasnya, definisi adalah perumusan yang
singkat, padat, jelas dan tepat, yang mampu menerangkan apa sebenarnya
pengertian dari suatu hal itu sehingga dapat dimengerti dan dibedakan dengan
jelas dari semua hal yang lainnya.[3]
2. MACAM-MACAM DEFINISI
Secara garis besar definisi dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu:
a) Definisi Nominalis (menurut kata atau nama)
Adalah penjelasan sebuah kata mengggunakan
kata lain yang lebih umum dimengerti. Atau menerangkan arti “istilah tertentu”.
Definisi ini dibagi menjadi enam, yaitu:
1) Definisi sinonim, yaitu penjelasan menggunakan persamaan
kata atau memberikan penjelasan dengan kata yang lebih dimengerti. Misalnya:
dampak adalah pengaruh yang menimbulkan akibat, kendala adalah halangan atau
hambatan, motif adalah alasan.
2) Definisi simbolis, yaitu penjelasan dengan memberikan
persamaan pernyataan berbentuk simbol-simbol. Misalnya:
A
B
Ax (x
A
x
B), maksudnya: A adalah Pelengkap dari B, hanya bila A dikalikan x. sehingga, (jika x
adalah unsur/bagian A, maka x adalah unsur/bagian B).
3) Definisi etimologis (mengupas asal usul istilah tertentu),
yaitu penjelasan dengan memberikan asal usul katanya. Misalnya: Demokrasi
berasal dari kata demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti
kekuasaan. Jadi, demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau rakyat yang
berkuasa.
4) Definisi semantis, yaitu penjelasan tanda
dengan suatu arti yang telah terkenal. Misalnya: tanda berarti : jika . . . . maka . . . .
berarti
: bila dan hanya bila.
Misalnya: jika hujan maka jalan basah,
berarti jika jalan tidak basah maka tidak ada hujan. Simbol proposisi
matematisnya adalah:
(p
q) (-q -p).
5) Definisi stipulatif, yaitu penjelasan tanda dengan cara
memberikan nama atas dasar kesepakatan bersama. Misalnya: planet yang paling
dekat dengan matahari disebut dengan nama planet merkurius.
6) Definisi denotatif (makna yang sebenarnya), yaitu
penjelasan istilah dengan cara menunjukkan atau memberikan contoh dari suatu
benda atau hal yang termasuk dalam cakupan istilah tersebut.
b) Definisi Realis (penjelasan berdasarkan kenyataan)
Adalah penjelasan tentang hal yang ditandai
oleh suatu term (istilah). Definisi ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Definisi esensial (logis) dari sifat khas atau hakiki,
yaitu penjelasan dengan cara menguraikan bagian-bagian yang menyusun suatu hal.
Dan ia dibedakan menjadi:
(a) Definisi analitis, yaitu memberikan definisi dengan
menunjukkan bagian-bagian dari suatu benda yang mampu mewujudkan esensinya.
Misalnya: manusia adalah suatu substansi yang terdiridari badan dan jiwa, air
dan H2O.
(b) Definisi konotatif (arti tambahan), yaitu menunjukkan isi
dari suatu istilah yang terdiri dari genus dan diferensia. Dan disebut juga
definisi essensial metafisika. Misalnya: manusia adalah makhluk yang berakal.
2) Definisi deskriptif (dari kumpulan sifat-sifat), yaitu
penjelasan dengan menunjukkan sifat-sifat yang dimiliki oleh hal yang
didefinisikan. Dan ia dibedakan menjadi:
(a) Definisi aksidental, yaitu penjelasan dengan cara
menunjukkan jenis yang disertai dengan penyebutan sifat-sifat khususnya dengan
menggunakan rumus lain, yakni penjelasan yang disusun dari genus dan propium.
Misalnya: manusia adalah makhluk yang berpolitik.
(b) Definisi kausal (dari sebab-sebab dan atau tujuannya), yaitu
penjelasan dengan cara menyatakan bagaimana suatu hal itu dapat terjadi atau
terwujud. Misalnya: awan adalah uap air yang terkumpul di udara karena
penyinaran laut oleh matahari.
c) Definisi Praktis
Adalah penjelasan tentang suatu hal yang
ditinjau dari segi penggunaan dan tujuannya yang sederhana. Definisi ini
terbagi menjadi tiga, yaitu:
1) Definisi operasional, yaitu penjelasan suatu istilah
dengan menegaskan langkah-langkah pengujian khusus yang harus dilaksanakan atau
dengan metode pengukuran serta menunjukkan bagaimana hasil yang dapat diamati.
Misalnya: magnit adalah logam yang dapat menarik gugusan besi.[4]
Definisi ini pertama kali mengalami perkembangan yang pesat adalah dalam
ilmu-ilmu eksak, karena berdasarkan pada keperluan akan ukuran-ukuran yang
dapat ditangani secara obyektif.[5]
2) Definisi persuasif, yaitu penjelasan dengan cara
merumuskan suatu pernyataan yang dapat mempengaruhi orang lain. Misalnya: lux
adalah sabun yang dipakai oleh selebritis.
3) Definisi fungsional, yaitu penjelasan sesuatu berdasarkan
kegunaan atau tujuannya. Misalnya: Negara adalah suatu persekutuan besar yang
bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama dan bersifat pragmatis (berguna
untuk umum).[6]
Dan dalam penjelasan lain disebutkan bahwa definisi
adalah pengertian yang lengkap tentang suatu istilah dan mencakup semua
unsur-unsur sebagai ciri utama dari istilah tersebut. Sehingga macam-macam
definisi adalah sebagai berikut:
a) Definisi demonstratif (Ostentive definition)
Definisi ini menjelaskan sesuatu secara
demonstratif saja, misalnya: Kursi ialah ini (sambil menunjuk ke arah kursi).
b) Definisi persamaan (Biverbal definition)
Definisi ini menerangkan sesuatu dengan
memberikan sinonim katanya atau terjemahannya saja. Misalnya: Sapi adalah lembu
(bahasa jawa), sapi adalah cow (bahasa ingris), sapi adalah baqorotun
(bahasa arab).
c) Definisi secara luas (Extensive definition)
Definisi ini menerangkan sesuatu dengan memberikan
contoh-contohnya sekaligus. Misalnya: Ikan ialah hewan yang hidup dalam air
sebagaimana tongkol, mujair, bandeng, kakap dsb.
d) Definisi lukisan (Descriptive definition)
Definisi ini menerangkan sesuatu dengan
melukiskan sifat-sifatnya yang mencolok. Misalnya: Gajah ialah binatang yang
tubuhnya besar seperti gerbong, kakinya besar seperti pohon nyiur, hidungnya
panjang seperti pohon pisang, telinganya lebar seperti daun talas dan suaranya
nyaring seperti peluit kereta api.
e) Definisi uraian (Analitie definition)
Definisi ini menerangkan sesuatu dengan
menguraikan bagian-bagiannya satu persatu. Misalnya: Negara ialah suatu teritorial
yang memiliki pemerintahan, rakyat dan batas-batas daerah.[7]
3. ATURAN DALAM PEMBUATAN DEFINISI
Adapun aturan, syarat atau patokan dalam
membuat definisi adalah:
a) Sebuah definisi tidak boleh lebih luas atau lebih sempit
dari konotasi kata yang didefinisikan. Contoh definisi yang terlalu luas
adalah: merpati adalah burung yang dapat terbang cepat, (banya burung yang
dapat terbang cepat selain merpati). Definisi yang terlalu sempit adalah: Jujur
adalah sikap mau mengakui kesalahan sendiri, (mau mengakui kelebihan lawan juga
termasuk sikap jujur).
b) Definisi tidak boleh menggunakan kata yang didefinisikan,
dan definisi yang melanggar patokan ini disebut definisi sirkuler,
berputar atau tautologi, atau tahsilul hasil. Contoh yang salah adalah:
hukum waris adalah hukum untuk mengatur warisan, dan definisi yang tepat
adalah: hukum waris adalah hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan dari
seseorang yang telah meninggal.
c) Definisi tidak boleh menggunakan penjelasan yang justru
membingungkan. Misalnya: sejarah adalah samudera pengalaman yang selalu
bergelombang tiada putus-putusnya.
d) Definisi tidak boleh menggunakan bentuk negatif.
Misalnya: indah adalah sesuatu yang tidak jelek.[8]
e) Definisi harus dapat dibolak-balik dengan hal yang
didefinisikan itu. Dan perbalikan ini merupakan tes yang paling baik untuk
memeriksa tepat-tidaknya sebuah definisi. Contoh yang salah adalah: kerbau
didefinisikan sebagai binatang berwarna kelabu yang berekor panjang, definisi
ini tidak memenuhi syarat karena tikus dan gajah juga binatang yang berwarna
kelabu serta berekor panjang.
f) Definisi tidak boleh memuat metafora (kata-kata kiasan
tanpa maksud yang jelas), karena penggunaan definisi tersebut justru akan
menimbulkan kedwiartian dan mengaburkan makna yang dimaksud.[9]
B. KATEGORI
1. PENGERTIAN KATEGORI
Di dalam kamus ilmiah populer tertulis bahwa pengertian
dari kategori adalah golongan, tingkat, kelas atau bagian. Sedangkan pengertian
dari klasifikasi adalah penggolongan, pembagian menurut kelas, atau penjenisan dalam
bagian-bagian.[10]
Sehingga, menurut pemakalah kata kategori, klasifikasi maupun penggolongan
adalah sinonim.
Dan konsep dari klasifikasi atau kategori tersebut
hanyalah untuk menempatkan objek tertentu dalam sebuah kelas atau untuk
mengemukakan hubungan mengenai objek tersebut dalam norma yang mencakup
pengertian lebih atau kurang dibandingkan dengan objek lain. Seperti: panas
atau dingin, lebih panas atau lebih dingin.[11]
Sehingga pengertian klasifikasi adalah pengelompokan
barang yang sama dan memisahkan dari yang berbeda menurut spesia atau kelasnya.
Adapun dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan mengelompokkan sangat sering
dilakukan, sebagai contoh: seorang penjual buah-buahan menyusun dagangannya
berdasarkan macam buah yang dijual, menurut hargannya ataupun berdasarkan besar
kecilnya buah. Dan para ilmuan mengelompokkan klasifikasi menjadi tiga
golongan, yaitu: ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu humaniora.
Adapun tujuan dari pengelompokan tidak lain agar kita lebih mudah dalam
berhubungan dengan benda-benda tersebut. Dapat kita bayangkan, alangkah
sulitnya mencari satu judul buku bila seluruh buku-buku diperpustakaan tidak
diklasifikasikan.
2. CARA MEMBUAT KATEGORI ATAU KLASIFIKASI
Membuat klasifikasi dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu:
a) Pembagian
Pengertian dari pembagian (logical
division) adalah membagi suatu jenis kepada spesia yang dicakupnya. Adapun
kaitan antara definisi dengan pembagian adalah: definisi membahas tentang
pengertian kata atau analisis konotasi (arti tambahan), maka pembagian membahas
tentang analisis denotasi (makna yang sebenarnya). Sehingga pembagian merupakan
penjelasan yang lebih lengkap mengenai suatu genera (jenis) kepada spesianya
(kelas).
Contoh: manusia adalah hewan yang
berakal (manusia: spesia atau kelas, dan hewan yang berakal: genera atau
jenis). Namun perlu dipahami bahwa pembagian logika berdasarkan jenis dan kelas
tersebut adalah tidak mutlak, karena manusia adalah spesia bila dilihat dari
jurusan binatang, tetapi bila dilihat dari ras bangsa-bangsa maka ia adalah
jenis. Sehingga, manusia menjadi jenis dan ras menjadi spesia.
Dan supaya didapatkan spesia yang
benar, maka dalam pembagian perlu memperhatikan hal-hal berikut:
1) Pembagian harus didasarkan atas sifat persamaan yang ada
pada genera secara menyeluruh (fundamentum divisionis), sehingga spesia
merupakan perubahan tertentu dari sifat persamaannya. Misalnya: jika kita ingin
membagi bidang datar, maka kita harus membagi berdasarkan perubahan tertentu
dari sifat genera atau jenisnya, yaitu jumlah sisi yang membentuknya. Sehingga
kita dapat membagi menjadi: segi tiga, segi empat, segi lima, segi enam, dan
segi lebih dari enam (tiga sisi), (empat sisi), (lima sisi) atau (enam sisi).
2) Setiap pembagian harus berdasarkan satu dasar saja,
karena pembagian yang berdasarkan lebih dari satu dasar akan menghasilkan
spesia yang simpang siur (overlap, cross division, dan terselip tidak
karuan). Misal dari pembagian yang overlap adalah: manusia dibagi
menjadi: manusia berkulit putih, manusia asia atau manusia penyabar. Adapun
pembagian yang benar atas manusia adalah: pembagian manusia berdasarkan warna
kulit, sehingga dapat menghasilkan spesia-spesia (kelas): manusia berkulit
putih, berkulit hitam, berkulit kuning dan berkulit merah.
3) Pembagian harus lengkap, yaitu harus menyebutkan
keseluruhan spesia (kelas) yang dicakup oleh suatu genera (jenis). Hal ini amat
rumit dan bergantung pada keluasan pengetahuan kita atas kelompok
barang-barang. Misalnya: membagi manusia atas dasar warna kulit menjadi manusia
berkulit putih dan hitam saja adalah tidak benar, karena ada spesia yang masih
tertinggal, yaitu manusia berkulit kuning dan merah.
Selain pembagian diatas, ada
pembagian model lain yang timbul karena keterbatasan kita akan kelompok
barang-barang secara menyeluruh, sehingga muncul pembagian lain yang disebut
dengan pembagian dikotomi.Pembagian dikotomi adalah pembagian dari suatu genera
kepada spesia yang dicakupnya dengan cara mengelompokkan menjadi dua golongan
berdasarkan atas ada dan tidak adanyakualitas tertentu. Dan dikotomi berasal
dari bahasa latin dichotomia yang artinya pembagian secara dua-dua atau
berpasangan. Dalam bahasa arab disebut sunnaiyyah. Contoh:
Binatang
|
Berinsang
|
Tidak berinsang
|
Menyusui
|
Tidak menyusui
|
Bersayap
|
Tidak bersayap
|
b) Penggolongan
Penggolongan adalah lawan dari
pembagian, dan penggolongan mengatur barang-barang dalam kelompok spesia. Dimana
pembagian bergerak dari atas ke bawah, sedangkan penggolongan bergerak dari
bawah ke atas atau dari individu menuju spesia. Karena penggolongan dilakukan
berdasarkan kemiripan dasar yang dimiliki oleh setiap individu barang, sehingga
barang-barang dengan ciri-ciri atau persamaan tertentu dapat dikelompokkan
kedalam golongan yang sama.
Misalnya: kita mendapati
barang-barang seperti: melati, besi, kenanga, mawar, timah, emas, cempaka,
tembaga dan platina. Maka melati, kenanga, mawar, dan cempaka adalah kelompok
dari golongan bunga, karena seluruhnya memiliki persamaan-persamaan yang sangat
menonjol. Sedangkan besi, timah, emas, tembaga dan platina adalah golongan
logam, karena seluruhnya bukan kelompok bunga.
Dan penggolongan terbagi menjadi
dua, yaitu: penggolongan alam dan penggolongan buatan. Penggolongan alam adalah
penggolongan yang disusun atas kecerdasan kita, seperti: penggolongan mawar, melati,
kenanga ke dalam golongan bunga. Sedangkan pengolongan buatan adalah
penggolongan yang didasarkan atas satu sifat, dan disebut buatan karena
penggolongan itu dimaksudkan untuk tujuan tertentu. Seperti, penyusunan kata
dalam kamus, penyusunan buku di perpustakaan, atau pengelompokan barang di
toko. Adapun tujuan dari pengelompokan tersebut adalah untuk mendapatkan
kemudahan dalam pencarian Sesuatu yang diinginkan.[12]
Adapun manfaat dari penggolongan
atau klasifikasi adalah:
(1) Membantu pikiran kita supaya dapat melihat sekilas
fenomena pengelompokan yang sekiranya memiliki banyak variasi.
(2) Memungkinkan pikiran kita untuk memahami benang merah
yang terdapat dalam hubungan antara objek yang satu dengan yang lain.
(3) Membantu kita untuk memahami benda atau objek menurut
struktur kodratnya supaya lebih mudah mencermatinya. [13]
3. ATURAN-ATURAN PENGGOLONGAN ATAU KLASIFIKASI
a. Penggolongan harus lengkap, yaitu jika suatu hal
dibagi-bagi maka bagian yang kita perinci harus meliputi semua bagian, sehingga
jika bagian-bagian itu dijumlah lagi maka hasilnya tidak akan kurang atau lebih
dari kesatuan yang telah dibagi-bagi tersebut. Contoh: makhluk hidup
digolongkan menjadi manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
b. Penggolongan harus sungguh-sungguh memisahkan, yaitu
bagian yang satu tidak boleh mengandung bagian yang lain, sehingga tidak ada
overlapping atau tumpang tindih dalam pemisahan. Contoh: makhluk hidup ada yang
hidup di darat, dilaut dan di udara.
c. Penggolongan harus menurut dasar atau garis yang sama,
yaitu sebuah penggolongan harus konsekuen dan tidak memakai dua atau lebih
dasar sekaligus dalam pembagian yang sama. Contoh: jika murid dalam kelas
dibagi menjadi murid yang pandai, kurus dan cantik, maka penggolongan ini tidak
memakai dasar sifat yang sama. Akibatnya golongan-golongan disini saling
berimpitan, karena mungkin ada anak yang sekaligus termasuk ke dalam ketiga
golongan itu, atau sama sekali tidak termasuk ke dalam salah satu golongan
tersebut.
d. Penggolongan harus cocok untuk tujuan yang hendak
dicapai. Contoh: Sensus penduduk: seorang ahli antropologi menyusun penduduk
menurut suku bangsa, ahli politik memerlukan penggolongan menurut agama atau
ideologi yang dianut, dan ahli ekonomi akan mengutamakan pembagian menurut
umur, jenis kelamin, pekerjaan dsb.[14]
C. HUKUM DASAR LOGIKA
1. PENGERTIAN LOGIKA
Logika
berasal dari bahasa Yunani, yaitu: logos (kata, pikiran atau berpikir),
sedangkan logis adalah berkata benar, tepat, jernih dan lurus. Berdasarkan
pengertian tersebut maka terbuktilah bahwa ternyata terdapat hubungan erat
antara pikiran dan perkataan yang merupakan pernyataan dalam bahasa. Adapun Bapak
logika adalah Aristoteles (384-322 SM), ia adalah filosof Yunani kuno murid
Plato, dan pemikirannya dikenal dengan Logika Aristoteles, logika dasar, dasar
logika atau logika klasik.[15]
Dan
definisi filasafat menurut para filusuf dan ilmuan terbagi menjadi dua,yaitu:
secara luasa logika adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip serta
norma-norma penyimpulan yang sah, dan secara sederhana logika adalah cabang
filsafat yang membahas metode penalaran yang sah dari premis ke kesimpulan.
Sedangkan menurut orang Indonesia logika dianggap membahas tentang persoalan
berpikir, pemikiran atau pikiran. Dan pada intinya logika adalah menempatkan
aspek pikiran sebagai pokok pembahasan utama, yang dalam bahasa inggris dikenal
dengan thinking. Adapun pembahasan logika adalah asas dan aturan-aturan
yang dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, sehingga secara lebih cermat
logika merupakan bidang pengetahuan yang teratur dan bagian dari filsafat yang
mempelajari segenap asas dan aturan serta tata cara mengenai penalaran yang
benar.
Dan untuk memahami logika secara lebih
mendalam, perlu memahami tentang tiga unsur dasar yang menjadi pilar
pembangunan logika, yaitu:
a) Istilah (term) atau pengertian adalah: konsep atau ide.
Dan pengertian dalam logika diartikan sebagai hasil dari penalaran manusia
mengenai suatu objek. Contoh: kepala sekolah.[16]
b) Pendapat adalah: hubungan kesatuan dari dua atau lebih
pengertian, contoh: pak budi adalah seorang guru.
c) Perdalilan adalah: gabungan dari dua atau lebih pendapat,
sehingga terbentuk wacana atau argumentasi. Salah satunya adalah silogisme.[17]
2. DASAR BERPIKIR ATAU BERLOGIKA
Dalam
aktivitas berpikir kita tidak boleh melalaikan patokan atau dasar dari berpikir
atau berlogika. Karena dasar merupakan asas atau pangkal dari pengertian atas
kemunculan sesuatu. Adapun dasar dalam berpikir adalah:
a) Keyakinan, yaitu: sikap subyek atau senantiasa berifat
subyektif. Sehingga berdasarkan subyek yang diketahui dengan sungguh-sungguh
saat itu, tidak ada alasan untuk berpendapat lain. Namun, keyakinan mungkin
keliru sehingga terkadang diperlukan adanya sebuah pembetulanm higga muncullah
keyakinan baru yang benar. Contoh: seseorang meyakini bahwa warna bunga mawar
adalah merah.
b) Kepastian, yaitu: keyakinan atas suatu hal yang disampaikan
hingga tidak ada keraguan didalamnya. Contohnya dalam ilmu pasti adalah
2 x 2 = 4, sehingga jawaban untuk 2 x 2 = 5
adalah salah.
c) Wilayah kesungguhan, berawal dari sebuah keyakinan yang
melahirkan kepastian lalu muncullah kesungguhan yang biasa disebut realitas.
Dan wilayahnya meliputi: kesungguhan yang disebut kongkrit, dan kesungguhan
yang merupakan asal dari pemikiran.
d) Hukum kesungguhan dan hukum pikir, yaitu: keduanya saling
berkatian, karena kesungguhan merupakan objek dari berpikir, sehingga gerak
dari berpikir harus sejalan dengan hukum kesungguhan.
e) Hukum buatan, yaitu: hukum-hukum dalam berpikir bukanlah
buatan dari logika namun ia hanya mengikuti realitas saja, meskipun yang
menemukan hukum tersebut adalah logika.[18]
Sedangkan
kapasitas asas bagi kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah atau benarnya
pemikiran tergantung pada pelaksanaan asas pemikiran sebagai dasar dari
pengetahuan dan ilmu. Adapun macam-macam dari asas pemikirian berdasarkan
logika formal adalah:
1) Asas identitas (principium identitas= qanun dzatiyah),
adalah dasar dari semua pemikiran manusia. Karena asas ini menerangkan bahwa
sesuatu itu adalah dia sendiri dan bukan lainnya. Contoh: jika seseorang
mengajui bahwa sesuatu itu Z, maka ia adalah Z dan bukan A.
2) Asas kontradiksi (Principium Contradictoris = qanun
tanaqud), adalah: pernyataan pengingkaran atas sesuatu dan menyatakan bahwa
sesuatu itu tidak sesuai dengan pengakuannya. Contoh: Jika kita mengakui bahwa
sesuatu itu bukan A, maka tidak mungkin ia adalah A.
3) Asas penolakan kemungkinan ketiga (principium exclusi
tertii = qanun imtina’) adalah pernyataan bahwa kebenaran itu terletak
antara pengakuan dan pengingkaran, karena pertentangan keduanya mutlak.[19]
Berdasarkan
pada dasar berpikir atau berlogika dan asas pemikirian tersebut, maka terdapat
beberapa cara untuk berpikir benar, yaitu:
(a) Mencintai kebenaran, sebagai sikap fundamental dalam
berpikir supaya tidak menyeleweng dari kebenaran.
(b) Ketahuilah (dengan sadar) apa yang sedang anda kerjakan,
yaitu kegiatan berpikir untuk memperoleh sebuah kebenaran.
(c) Ketahuilah (dengan sadar) apa yang sedang anda katakana,
karena pikiran diungkapkan ke dalam kata-kata.
(d)Buatlah distingsi (pembedaan) dan pembagian (klasifikasi)
semestinya.
(e) Cintailah definisi yang tepat, sehingga dapat mencapai
pemahaman.
(f) Ketahuilah (dengan sadar) mengapa anda menyimpulkan
sesuatu.
(g) Hindarilah kesalahan-kesalahan dengan segala usaha dan
tenaga, serta sangguplah mengenali jenis, macam dan nama kesalahan, demikian
juga mengenali sebab-sebab kesalahan pemikiran (penalaran).[20]
BAB III
PENUTUP
Definisi adalah perumusan yang singkat,
padat, jelas dan tepat, yang mampu menerangkan apa sebenarnya pengertian dari
suatu hal itu sehingga dapat dimengerti dan dibedakan dengan jelas dari semua
hal yang lainnya. Dan macam-macamnya adalah: Definisi Nominalis (menurut kata
atau nama), Definisi Realis (penjelasan berdasarkan kenyataan) dan Definisi
Praktis (berdasarkan penggunaan dan tujuannya). Adapun aturan dari pembuatan
definisi adalah: Sebuah definisi tidak boleh lebih luas atau lebih sempit dari
konotasi kata yang didefinisikan, Definisi tidak boleh menggunakan kata yang
didefinisikan, Definisi tidak boleh menggunakan penjelasan yang justru
membingungkan, Definisi tidak boleh menggunakan bentuk negative, Definisi harus
dapat dibolak-balik dengan hal yang didefinisikan itu, dan Definisi tidak boleh
memuat metafora.
Dan klasifikasi atau kategori adalah
pengelompokan barang yang sama dan memisahkan dari yang berbeda menurut spesia
atau kelasnya. Dan cara membuat kategori adalah dengan pembagian atau penggolongan.
Adapun aturan dalampenggolongan adalah: Penggolongan harus lengkap, Penggolongan
harus sungguh-sungguh memisahkan, Penggolongan harus menurut dasar atau garis
yang sama, dan Penggolongan harus cocok untuk tujuan yang hendak dicapai.
Sedangkan logika adalah menempatkan aspek
pikiran sebagai pokok pembahasan utama, dan pembahasan logika adalah asas dan
aturan-aturan yang dapat menghasilkan kesimpulan yang benar. Dan dasar dalam
berlogika adalah: keyakinan, kepastian, wilayah kesungguhan, hukum kesungguhan
dan hukum pikir, dan hukum buatan. Adapun macam-macam dari asas pemikirian
berdasarkan logika formal adalah: Asas identitas (principium identitas=
qanun dzatiyah), asas kontradiksi (Principium Contradictoris = qanun
tanaqud), dan asas penolakan kemungkinan ketiga (principium exclusi
tertii = qanun imtina’).
DAFTAR PUSTAKA
A
Partanto, Pius dan Al Barry, M. dadlan. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola,
2001.
Bakhtiar,
Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009.
Bakry,
Hasbullah. Systematik Filsafat, Solo: AB. Sitti Sjamsijah, 1964.
Mundiri.
Logika, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Poedjawijatna.
Logika Filsafat Berpikir, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.
Poespoprodjo,
W. Logika Ilmu Menalar, Bandung: Pustaka
Grafika, 2006.
Soemargono,
Soejono. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003.
Surajiyo,
Astanto, Sugeng dan Andiani, Sri. Dasar-Dasar Logika, Jakarta: PT Bumi Aksara,
2010.
Surajiyo.
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.
Wiramihardja,
Sutardjo A. Pengantar Filasafat, Bandung: PT Refika Aditama, 2006.
[1]
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2010), 108.
[2] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009),
221-222.
[3] W.
Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, (Bandung: Pustaka Grafika, 2006), 67.
[4] Surajiyo,
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, 108-109.
[5] Soejono
Soemargono, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,
2003), 119.
[6] Surajiyo,
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, 110.
[7]
Hasbullah Bakry, Systematik Filsafat, (Solo: AB. Sitti Sjamsijah, 1964),
21-22.
[8]
Mundiri, Logika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 39-42.
[9] W.
Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, 67-69.
[10] Pius
A Partanto dan M. dadlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer,(Surabaya:
Arkola, 2001), 321-345.
[11] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 64.
[12] Mundiri,
Logika, 45-51.
[13] Surajiyo,
Sugeng Astanto dan Sri Andiani, Dasar-Dasar Logika, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2010), 29.
[14] W.
Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, 63-64.
[15] Sutardjo
A. Wiramihardja, Pengantar Filasafat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006),
81-82.
[16] Surajiyo,
dkk. Dasar-Dasar Logika, 8-11.
[17] Sutardjo
A. Wiramihardja, Pengantar Filasafat, 83-84.
[18] Poedjawijatna,
Logika Filsafat Berpikir, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), 19-26.
[19] Mundiri,
Logika, 11-12.
[20] Amsal
Bakhtiar, Filsafai Ilmu, 213-217.
Terimakasih, sangat membantu, jazakillah Rizka Eliyana.
BalasHapusWa Iyyakum.....
BalasHapusAfwan, Syukron 'Ala al-wajib.