Senin, 21 April 2014

Definisi, Kategori dan Hukum Dasar Logika



BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap manusia menggunakan definisi dalam menjelaskan suatu istilah, supaya tidak terjadi kesalah pahaman dapat memahami sesuatu, karena konsep pemikiran setiap orang tidaklah sama. Seperti halnya seorang ilmuan yang ditutut untuk mampu membuat suatu definisi dari setiap konsep dan mampu bernalar dengan baik. Meskipun disadari, definisi belum mampu menampilkan sesuatu dengan sempurna sesuai dengan pengertian yang dikandungnya.
Dan dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang membutuhkan adanya konsep klasifikasi atau kategori, karena kita selalu bersinggungan dengan berbagai benda yang berbeda. Sehingga tanpa adanya pengelompokan benda-benda, tidak dapat kita bayangkan betapa sulitnya kita menjalani kehidupan kita, karena setiap hal yang kita temui akan menjadi masalah bagi kita.
Disamping kedua hal tersebut manusia juga perlu untuk bernalar atau berlogika, karena definisi hanyalah sebagai gerbang bagi kita untuk mengenal sebuah kesempurnaan dalam berpikir dan menjelaskan. Namun logika tetap kita perlukan untuk mencapai ketepatan dalam berpikir. Maka dari pada itu dalam makalah ini, kami akan menjelaskan tentang maksud dan cakupan dari definisi, kategori dan hukum dasar logika.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimanakah maksud dan cakupan dari definisi?
2.    Bagaimanakah maksud dan cakupan dari kategori?
3.    Bagaimanakah maksud dari hukum dasar logika?

C.  TUJUAN PENULISAN
1.    Mengetahui maksud dan cakupan dari definisi.
2.    Mengetahui maksud dan cakupan dari kategori.
3.    Mengetahui maksud dari hukum dasar logika.
BAB II
DEFINISI, KATEGORI DAN HUKUM DASAR LOGIKA

A.      DEFINISI
1.      PENGERTIAN DEFINISI
Definisi berasal dari kata Latin definire yang berarti menandai batas-batas pada sesuatu, menentukan batas, memberi ketentuan atau batasan arti. Jadi, maksud dari definisi adalah sebuah pernyataan yang memuat penjelasan tentang arti suatu term (istilah). Dan definisi terdiri dari: bagian pangkal (definiendum) yaitu sebuah istilah yang harus diberi penjelasan, dan bagian pembatas (definiens) yaitu sebuah uraian mengenai arti dari bagian pangkal. Contoh: Manusia adalah makhluk berakal, dalam definisi tersebut manusia adalah difiniendum dan makhluk berakal adalah  definiens.[1]
Definisi secara etimologi adalah sebuah usaha untuk memberikan batasan terhadap sesuatu yang dikendaki seseorang, sehingga ia dapat dipahami oleh orang lain. Dengan kata lain, memberikan definisi adalah menjelaskan sebuah materi yang hakikatnya mungkin dapat dibahas oleh para cendekiawan.
Dan pengertian definisi secara terminologi adalah: sesuatu yang menguraikan makna lafadz kulli dan menjelaskan karakteristik khusus pada diri individu. Dan penulis memberikan pengertian definisi sebagai pengurai makna lafadz kulli, karena lafadz juz’i tidak mempunyai pengertian terminologi dengan adanya perubahan karakteristik yang konsisten menyertainya.
Sehingga pengertian dari definisi itu harus jami’ wa mani’ (menyeluruh dan membatasi). Dan hal ini sejalan dengan kata definisi itu sendiri, yaitu definit (membatasi). Jadi, definisi yang valid dalam logika perlu batasan yang jelas antara objek-objek yang didefinisikan.[2]
Dan lebih jelasnya, definisi adalah perumusan yang singkat, padat, jelas dan tepat, yang mampu menerangkan apa sebenarnya pengertian dari suatu hal itu sehingga dapat dimengerti dan dibedakan dengan jelas dari semua hal yang lainnya.[3]

2.      MACAM-MACAM DEFINISI
Secara garis besar definisi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a)    Definisi Nominalis (menurut kata atau nama)
Adalah penjelasan sebuah kata mengggunakan kata lain yang lebih umum dimengerti. Atau menerangkan arti “istilah tertentu”. Definisi ini dibagi menjadi enam, yaitu:
1)   Definisi sinonim, yaitu penjelasan menggunakan persamaan kata atau memberikan penjelasan dengan kata yang lebih dimengerti. Misalnya: dampak adalah pengaruh yang menimbulkan akibat, kendala adalah halangan atau hambatan, motif adalah alasan.
2)   Definisi simbolis, yaitu penjelasan dengan memberikan persamaan pernyataan berbentuk simbol-simbol. Misalnya:
A  B        Ax (x  A        x  B), maksudnya: A adalah Pelengkap dari B, hanya bila A dikalikan x. sehingga, (jika x adalah unsur/bagian A, maka x adalah unsur/bagian B).
3)   Definisi etimologis (mengupas asal usul istilah tertentu), yaitu penjelasan dengan memberikan asal usul katanya. Misalnya: Demokrasi berasal dari kata demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan. Jadi, demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau rakyat yang berkuasa.
4)   Definisi semantis, yaitu penjelasan tanda dengan suatu arti yang telah terkenal. Misalnya: tanda             berarti : jika . . . . maka . . . .
                        berarti : bila dan hanya bila.
Misalnya: jika hujan maka jalan basah, berarti jika jalan tidak basah maka tidak ada hujan. Simbol proposisi matematisnya adalah:
(p        q)         (-q        -p).
5)   Definisi stipulatif, yaitu penjelasan tanda dengan cara memberikan nama atas dasar kesepakatan bersama. Misalnya: planet yang paling dekat dengan matahari disebut dengan nama planet merkurius.
6)   Definisi denotatif (makna yang sebenarnya), yaitu penjelasan istilah dengan cara menunjukkan atau memberikan contoh dari suatu benda atau hal yang termasuk dalam cakupan istilah tersebut.
b)   Definisi Realis (penjelasan berdasarkan kenyataan)
Adalah penjelasan tentang hal yang ditandai oleh suatu term (istilah). Definisi ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1)   Definisi esensial (logis) dari sifat khas atau hakiki, yaitu penjelasan dengan cara menguraikan bagian-bagian yang menyusun suatu hal. Dan ia dibedakan menjadi:
(a) Definisi analitis, yaitu memberikan definisi dengan menunjukkan bagian-bagian dari suatu benda yang mampu mewujudkan esensinya. Misalnya: manusia adalah suatu substansi yang terdiridari badan dan jiwa, air dan H2O.
(b) Definisi konotatif (arti tambahan), yaitu menunjukkan isi dari suatu istilah yang terdiri dari genus dan diferensia. Dan disebut juga definisi essensial metafisika. Misalnya: manusia adalah makhluk yang berakal.
2)   Definisi deskriptif (dari kumpulan sifat-sifat), yaitu penjelasan dengan menunjukkan sifat-sifat yang dimiliki oleh hal yang didefinisikan. Dan ia dibedakan menjadi:
(a) Definisi aksidental, yaitu penjelasan dengan cara menunjukkan jenis yang disertai dengan penyebutan sifat-sifat khususnya dengan menggunakan rumus lain, yakni penjelasan yang disusun dari genus dan propium. Misalnya: manusia adalah makhluk yang berpolitik.
(b) Definisi kausal (dari sebab-sebab dan atau tujuannya), yaitu penjelasan dengan cara menyatakan bagaimana suatu hal itu dapat terjadi atau terwujud. Misalnya: awan adalah uap air yang terkumpul di udara karena penyinaran laut oleh matahari.
c)    Definisi Praktis
Adalah penjelasan tentang suatu hal yang ditinjau dari segi penggunaan dan tujuannya yang sederhana. Definisi ini terbagi menjadi tiga, yaitu:
1)   Definisi operasional, yaitu penjelasan suatu istilah dengan menegaskan langkah-langkah pengujian khusus yang harus dilaksanakan atau dengan metode pengukuran serta menunjukkan bagaimana hasil yang dapat diamati. Misalnya: magnit adalah logam yang dapat menarik gugusan besi.[4] Definisi ini pertama kali mengalami perkembangan yang pesat adalah dalam ilmu-ilmu eksak, karena berdasarkan pada keperluan akan ukuran-ukuran yang dapat ditangani secara obyektif.[5]
2)   Definisi persuasif, yaitu penjelasan dengan cara merumuskan suatu pernyataan yang dapat mempengaruhi orang lain. Misalnya: lux adalah sabun yang dipakai oleh selebritis.
3)   Definisi fungsional, yaitu penjelasan sesuatu berdasarkan kegunaan atau tujuannya. Misalnya: Negara adalah suatu persekutuan besar yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama dan bersifat pragmatis (berguna untuk umum).[6]
Dan dalam penjelasan lain disebutkan bahwa definisi adalah pengertian yang lengkap tentang suatu istilah dan mencakup semua unsur-unsur sebagai ciri utama dari istilah tersebut. Sehingga macam-macam definisi adalah sebagai berikut:

a)    Definisi demonstratif (Ostentive definition)
Definisi ini menjelaskan sesuatu secara demonstratif saja, misalnya: Kursi ialah ini (sambil menunjuk ke arah kursi).
b)   Definisi persamaan (Biverbal definition)
Definisi ini menerangkan sesuatu dengan memberikan sinonim katanya atau terjemahannya saja. Misalnya: Sapi adalah lembu (bahasa jawa), sapi adalah cow (bahasa ingris), sapi adalah baqorotun (bahasa arab).
c)    Definisi secara luas (Extensive definition)
Definisi ini menerangkan sesuatu dengan memberikan contoh-contohnya sekaligus. Misalnya: Ikan ialah hewan yang hidup dalam air sebagaimana tongkol, mujair, bandeng, kakap dsb.
d)   Definisi lukisan (Descriptive definition)
Definisi ini menerangkan sesuatu dengan melukiskan sifat-sifatnya yang mencolok. Misalnya: Gajah ialah binatang yang tubuhnya besar seperti gerbong, kakinya besar seperti pohon nyiur, hidungnya panjang seperti pohon pisang, telinganya lebar seperti daun talas dan suaranya nyaring seperti peluit kereta api.
e)    Definisi uraian (Analitie definition)
Definisi ini menerangkan sesuatu dengan menguraikan bagian-bagiannya satu persatu. Misalnya: Negara ialah suatu teritorial yang memiliki pemerintahan, rakyat dan batas-batas daerah.[7]

3.      ATURAN DALAM PEMBUATAN DEFINISI
Adapun aturan, syarat atau patokan dalam membuat definisi adalah:
a)    Sebuah definisi tidak boleh lebih luas atau lebih sempit dari konotasi kata yang didefinisikan. Contoh definisi yang terlalu luas adalah: merpati adalah burung yang dapat terbang cepat, (banya burung yang dapat terbang cepat selain merpati). Definisi yang terlalu sempit adalah: Jujur adalah sikap mau mengakui kesalahan sendiri, (mau mengakui kelebihan lawan juga termasuk sikap jujur).
b)   Definisi tidak boleh menggunakan kata yang didefinisikan, dan definisi yang melanggar patokan ini disebut definisi sirkuler, berputar atau tautologi, atau tahsilul hasil. Contoh yang salah adalah: hukum waris adalah hukum untuk mengatur warisan, dan definisi yang tepat adalah: hukum waris adalah hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan dari seseorang yang telah meninggal.
c)    Definisi tidak boleh menggunakan penjelasan yang justru membingungkan. Misalnya: sejarah adalah samudera pengalaman yang selalu bergelombang tiada putus-putusnya.
d)   Definisi tidak boleh menggunakan bentuk negatif. Misalnya: indah adalah sesuatu yang tidak jelek.[8]
e)    Definisi harus dapat dibolak-balik dengan hal yang didefinisikan itu. Dan perbalikan ini merupakan tes yang paling baik untuk memeriksa tepat-tidaknya sebuah definisi. Contoh yang salah adalah: kerbau didefinisikan sebagai binatang berwarna kelabu yang berekor panjang, definisi ini tidak memenuhi syarat karena tikus dan gajah juga binatang yang berwarna kelabu serta berekor panjang.
f)    Definisi tidak boleh memuat metafora (kata-kata kiasan tanpa maksud yang jelas), karena penggunaan definisi tersebut justru akan menimbulkan kedwiartian dan mengaburkan makna yang dimaksud.[9]



B.       KATEGORI
1.    PENGERTIAN KATEGORI

Di dalam kamus ilmiah populer tertulis bahwa pengertian dari kategori adalah golongan, tingkat, kelas atau bagian. Sedangkan pengertian dari klasifikasi adalah penggolongan, pembagian menurut kelas, atau penjenisan dalam bagian-bagian.[10] Sehingga, menurut pemakalah kata kategori, klasifikasi maupun penggolongan adalah sinonim.
Dan konsep dari klasifikasi atau kategori tersebut hanyalah untuk menempatkan objek tertentu dalam sebuah kelas atau untuk mengemukakan hubungan mengenai objek tersebut dalam norma yang mencakup pengertian lebih atau kurang dibandingkan dengan objek lain. Seperti: panas atau dingin, lebih panas atau lebih dingin.[11]
Sehingga pengertian klasifikasi adalah pengelompokan barang yang sama dan memisahkan dari yang berbeda menurut spesia atau kelasnya. Adapun dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan mengelompokkan sangat sering dilakukan, sebagai contoh: seorang penjual buah-buahan menyusun dagangannya berdasarkan macam buah yang dijual, menurut hargannya ataupun berdasarkan besar kecilnya buah. Dan para ilmuan mengelompokkan klasifikasi menjadi tiga golongan, yaitu: ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu humaniora. Adapun tujuan dari pengelompokan tidak lain agar kita lebih mudah dalam berhubungan dengan benda-benda tersebut. Dapat kita bayangkan, alangkah sulitnya mencari satu judul buku bila seluruh buku-buku diperpustakaan tidak diklasifikasikan.




2.    CARA MEMBUAT KATEGORI ATAU KLASIFIKASI
Membuat klasifikasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a)    Pembagian
Pengertian dari pembagian (logical division) adalah membagi suatu jenis kepada spesia yang dicakupnya. Adapun kaitan antara definisi dengan pembagian adalah: definisi membahas tentang pengertian kata atau analisis konotasi (arti tambahan), maka pembagian membahas tentang analisis denotasi (makna yang sebenarnya). Sehingga pembagian merupakan penjelasan yang lebih lengkap mengenai suatu genera (jenis) kepada spesianya (kelas).
Contoh: manusia adalah hewan yang berakal (manusia: spesia atau kelas, dan hewan yang berakal: genera atau jenis). Namun perlu dipahami bahwa pembagian logika berdasarkan jenis dan kelas tersebut adalah tidak mutlak, karena manusia adalah spesia bila dilihat dari jurusan binatang, tetapi bila dilihat dari ras bangsa-bangsa maka ia adalah jenis. Sehingga, manusia menjadi jenis dan ras menjadi spesia.
Dan supaya didapatkan spesia yang benar, maka dalam pembagian perlu memperhatikan hal-hal berikut:
1)   Pembagian harus didasarkan atas sifat persamaan yang ada pada genera secara menyeluruh (fundamentum divisionis), sehingga spesia merupakan perubahan tertentu dari sifat persamaannya. Misalnya: jika kita ingin membagi bidang datar, maka kita harus membagi berdasarkan perubahan tertentu dari sifat genera atau jenisnya, yaitu jumlah sisi yang membentuknya. Sehingga kita dapat membagi menjadi: segi tiga, segi empat, segi lima, segi enam, dan segi lebih dari enam (tiga sisi), (empat sisi), (lima sisi) atau (enam sisi).
2)   Setiap pembagian harus berdasarkan satu dasar saja, karena pembagian yang berdasarkan lebih dari satu dasar akan menghasilkan spesia yang simpang siur (overlap, cross division, dan terselip tidak karuan). Misal dari pembagian yang overlap adalah: manusia dibagi menjadi: manusia berkulit putih, manusia asia atau manusia penyabar. Adapun pembagian yang benar atas manusia adalah: pembagian manusia berdasarkan warna kulit, sehingga dapat menghasilkan spesia-spesia (kelas): manusia berkulit putih, berkulit hitam, berkulit kuning dan berkulit  merah.
3)   Pembagian harus lengkap, yaitu harus menyebutkan keseluruhan spesia (kelas) yang dicakup oleh suatu genera (jenis). Hal ini amat rumit dan bergantung pada keluasan pengetahuan kita atas kelompok barang-barang. Misalnya: membagi manusia atas dasar warna kulit menjadi manusia berkulit putih dan hitam saja adalah tidak benar, karena ada spesia yang masih tertinggal, yaitu manusia berkulit kuning dan merah.
Selain pembagian diatas, ada pembagian model lain yang timbul karena keterbatasan kita akan kelompok barang-barang secara menyeluruh, sehingga muncul pembagian lain yang disebut dengan pembagian dikotomi.Pembagian dikotomi adalah pembagian dari suatu genera kepada spesia yang dicakupnya dengan cara mengelompokkan menjadi dua golongan berdasarkan atas ada dan tidak adanyakualitas tertentu. Dan dikotomi berasal dari bahasa latin dichotomia yang artinya pembagian secara dua-dua atau berpasangan. Dalam bahasa arab disebut sunnaiyyah. Contoh:
Binatang
Berinsang
Tidak berinsang
Menyusui
Tidak menyusui
Bersayap
Tidak bersayap
 











b)   Penggolongan
Penggolongan adalah lawan dari pembagian, dan penggolongan mengatur barang-barang dalam kelompok spesia. Dimana pembagian bergerak dari atas ke bawah, sedangkan penggolongan bergerak dari bawah ke atas atau dari individu menuju spesia. Karena penggolongan dilakukan berdasarkan kemiripan dasar yang dimiliki oleh setiap individu barang, sehingga barang-barang dengan ciri-ciri atau persamaan tertentu dapat dikelompokkan kedalam golongan yang sama.
Misalnya: kita mendapati barang-barang seperti: melati, besi, kenanga, mawar, timah, emas, cempaka, tembaga dan platina. Maka melati, kenanga, mawar, dan cempaka adalah kelompok dari golongan bunga, karena seluruhnya memiliki persamaan-persamaan yang sangat menonjol. Sedangkan besi, timah, emas, tembaga dan platina adalah golongan logam, karena seluruhnya bukan kelompok bunga.
Dan penggolongan terbagi menjadi dua, yaitu: penggolongan alam dan penggolongan buatan. Penggolongan alam adalah penggolongan yang disusun atas kecerdasan kita, seperti: penggolongan mawar, melati, kenanga ke dalam golongan bunga. Sedangkan pengolongan buatan adalah penggolongan yang didasarkan atas satu sifat, dan disebut buatan karena penggolongan itu dimaksudkan untuk tujuan tertentu. Seperti, penyusunan kata dalam kamus, penyusunan buku di perpustakaan, atau pengelompokan barang di toko. Adapun tujuan dari pengelompokan tersebut adalah untuk mendapatkan kemudahan dalam pencarian Sesuatu yang diinginkan.[12]
Adapun manfaat dari penggolongan atau klasifikasi adalah:
(1)   Membantu pikiran kita supaya dapat melihat sekilas fenomena pengelompokan yang sekiranya memiliki banyak variasi.
(2)   Memungkinkan pikiran kita untuk memahami benang merah yang terdapat dalam hubungan antara objek yang satu dengan yang lain.
(3)   Membantu kita untuk memahami benda atau objek menurut struktur kodratnya supaya lebih mudah mencermatinya. [13]

3.    ATURAN-ATURAN PENGGOLONGAN ATAU KLASIFIKASI
a.    Penggolongan harus lengkap, yaitu jika suatu hal dibagi-bagi maka bagian yang kita perinci harus meliputi semua bagian, sehingga jika bagian-bagian itu dijumlah lagi maka hasilnya tidak akan kurang atau lebih dari kesatuan yang telah dibagi-bagi tersebut. Contoh: makhluk hidup digolongkan menjadi manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
b.    Penggolongan harus sungguh-sungguh memisahkan, yaitu bagian yang satu tidak boleh mengandung bagian yang lain, sehingga tidak ada overlapping atau tumpang tindih dalam pemisahan. Contoh: makhluk hidup ada yang hidup di darat, dilaut dan di udara.
c.    Penggolongan harus menurut dasar atau garis yang sama, yaitu sebuah penggolongan harus konsekuen dan tidak memakai dua atau lebih dasar sekaligus dalam pembagian yang sama. Contoh: jika murid dalam kelas dibagi menjadi murid yang pandai, kurus dan cantik, maka penggolongan ini tidak memakai dasar sifat yang sama. Akibatnya golongan-golongan disini saling berimpitan, karena mungkin ada anak yang sekaligus termasuk ke dalam ketiga golongan itu, atau sama sekali tidak termasuk ke dalam salah satu golongan tersebut.
d.   Penggolongan harus cocok untuk tujuan yang hendak dicapai. Contoh: Sensus penduduk: seorang ahli antropologi menyusun penduduk menurut suku bangsa, ahli politik memerlukan penggolongan menurut agama atau ideologi yang dianut, dan ahli ekonomi akan mengutamakan pembagian menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan dsb.[14]



C.      HUKUM DASAR LOGIKA
1.    PENGERTIAN LOGIKA
Logika berasal dari bahasa Yunani, yaitu: logos (kata, pikiran atau berpikir), sedangkan logis adalah berkata benar, tepat, jernih dan lurus. Berdasarkan pengertian tersebut maka terbuktilah bahwa ternyata terdapat hubungan erat antara pikiran dan perkataan yang merupakan pernyataan dalam bahasa. Adapun Bapak logika adalah Aristoteles (384-322 SM), ia adalah filosof Yunani kuno murid Plato, dan pemikirannya dikenal dengan Logika Aristoteles, logika dasar, dasar logika atau logika klasik.[15]
Dan definisi filasafat menurut para filusuf dan ilmuan terbagi menjadi dua,yaitu: secara luasa logika adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip serta norma-norma penyimpulan yang sah, dan secara sederhana logika adalah cabang filsafat yang membahas metode penalaran yang sah dari premis ke kesimpulan. Sedangkan menurut orang Indonesia logika dianggap membahas tentang persoalan berpikir, pemikiran atau pikiran. Dan pada intinya logika adalah menempatkan aspek pikiran sebagai pokok pembahasan utama, yang dalam bahasa inggris dikenal dengan thinking. Adapun pembahasan logika adalah asas dan aturan-aturan yang dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, sehingga secara lebih cermat logika merupakan bidang pengetahuan yang teratur dan bagian dari filsafat yang mempelajari segenap asas dan aturan serta tata cara mengenai penalaran yang benar.
 Dan untuk memahami logika secara lebih mendalam, perlu memahami tentang tiga unsur dasar yang menjadi pilar pembangunan logika, yaitu:
a)    Istilah (term) atau pengertian adalah: konsep atau ide. Dan pengertian dalam logika diartikan sebagai hasil dari penalaran manusia mengenai suatu objek. Contoh: kepala sekolah.[16]
b)   Pendapat adalah: hubungan kesatuan dari dua atau lebih pengertian, contoh: pak budi adalah seorang guru.
c)    Perdalilan adalah: gabungan dari dua atau lebih pendapat, sehingga terbentuk wacana atau argumentasi. Salah satunya adalah silogisme.[17]

2.    DASAR BERPIKIR ATAU BERLOGIKA
Dalam aktivitas berpikir kita tidak boleh melalaikan patokan atau dasar dari berpikir atau berlogika. Karena dasar merupakan asas atau pangkal dari pengertian atas kemunculan sesuatu. Adapun dasar dalam berpikir adalah:
a)    Keyakinan, yaitu: sikap subyek atau senantiasa berifat subyektif. Sehingga berdasarkan subyek yang diketahui dengan sungguh-sungguh saat itu, tidak ada alasan untuk berpendapat lain. Namun, keyakinan mungkin keliru sehingga terkadang diperlukan adanya sebuah pembetulanm higga muncullah keyakinan baru yang benar. Contoh: seseorang meyakini bahwa warna bunga mawar adalah merah.
b)   Kepastian, yaitu: keyakinan atas suatu hal yang disampaikan hingga tidak ada keraguan didalamnya. Contohnya dalam ilmu pasti adalah
2 x 2 = 4, sehingga jawaban untuk 2 x 2 = 5 adalah salah.
c)    Wilayah kesungguhan, berawal dari sebuah keyakinan yang melahirkan kepastian lalu muncullah kesungguhan yang biasa disebut realitas. Dan wilayahnya meliputi: kesungguhan yang disebut kongkrit, dan kesungguhan yang merupakan asal dari pemikiran.
d)   Hukum kesungguhan dan hukum pikir, yaitu: keduanya saling berkatian, karena kesungguhan merupakan objek dari berpikir, sehingga gerak dari berpikir harus sejalan dengan hukum kesungguhan.
e)    Hukum buatan, yaitu: hukum-hukum dalam berpikir bukanlah buatan dari logika namun ia hanya mengikuti realitas saja, meskipun yang menemukan hukum tersebut adalah logika.[18]
Sedangkan kapasitas asas bagi kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah atau benarnya pemikiran tergantung pada pelaksanaan asas pemikiran sebagai dasar dari pengetahuan dan ilmu. Adapun macam-macam dari asas pemikirian berdasarkan logika formal adalah:
1)   Asas identitas (principium identitas= qanun dzatiyah), adalah dasar dari semua pemikiran manusia. Karena asas ini menerangkan bahwa sesuatu itu adalah dia sendiri dan bukan lainnya. Contoh: jika seseorang mengajui bahwa sesuatu itu Z, maka ia adalah Z dan bukan A.
2)   Asas kontradiksi (Principium Contradictoris = qanun tanaqud), adalah: pernyataan pengingkaran atas sesuatu dan menyatakan bahwa sesuatu itu tidak sesuai dengan pengakuannya. Contoh: Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu bukan A, maka tidak mungkin ia adalah A.
3)   Asas penolakan kemungkinan ketiga (principium exclusi tertii = qanun imtina’) adalah pernyataan bahwa kebenaran itu terletak antara pengakuan dan pengingkaran, karena pertentangan keduanya mutlak.[19]
Berdasarkan pada dasar berpikir atau berlogika dan asas pemikirian tersebut, maka terdapat beberapa cara untuk berpikir benar, yaitu:
(a) Mencintai kebenaran, sebagai sikap fundamental dalam berpikir supaya tidak menyeleweng dari kebenaran.
(b) Ketahuilah (dengan sadar) apa yang sedang anda kerjakan, yaitu kegiatan berpikir untuk memperoleh sebuah kebenaran.
(c) Ketahuilah (dengan sadar) apa yang sedang anda katakana, karena pikiran diungkapkan ke dalam kata-kata.
(d)Buatlah distingsi (pembedaan) dan pembagian (klasifikasi) semestinya.
(e) Cintailah definisi yang tepat, sehingga dapat mencapai pemahaman.
(f)  Ketahuilah (dengan sadar) mengapa anda menyimpulkan sesuatu.
(g) Hindarilah kesalahan-kesalahan dengan segala usaha dan tenaga, serta sangguplah mengenali jenis, macam dan nama kesalahan, demikian juga mengenali sebab-sebab kesalahan pemikiran (penalaran).[20]


BAB III
PENUTUP

Definisi adalah perumusan yang singkat, padat, jelas dan tepat, yang mampu menerangkan apa sebenarnya pengertian dari suatu hal itu sehingga dapat dimengerti dan dibedakan dengan jelas dari semua hal yang lainnya. Dan macam-macamnya adalah: Definisi Nominalis (menurut kata atau nama), Definisi Realis (penjelasan berdasarkan kenyataan) dan Definisi Praktis (berdasarkan penggunaan dan tujuannya). Adapun aturan dari pembuatan definisi adalah: Sebuah definisi tidak boleh lebih luas atau lebih sempit dari konotasi kata yang didefinisikan, Definisi tidak boleh menggunakan kata yang didefinisikan, Definisi tidak boleh menggunakan penjelasan yang justru membingungkan, Definisi tidak boleh menggunakan bentuk negative, Definisi harus dapat dibolak-balik dengan hal yang didefinisikan itu, dan Definisi tidak boleh memuat metafora.
Dan klasifikasi atau kategori adalah pengelompokan barang yang sama dan memisahkan dari yang berbeda menurut spesia atau kelasnya. Dan cara membuat kategori adalah dengan pembagian atau penggolongan. Adapun aturan dalampenggolongan adalah: Penggolongan harus lengkap, Penggolongan harus sungguh-sungguh memisahkan, Penggolongan harus menurut dasar atau garis yang sama, dan Penggolongan harus cocok untuk tujuan yang hendak dicapai.
 Sedangkan logika adalah menempatkan aspek pikiran sebagai pokok pembahasan utama, dan pembahasan logika adalah asas dan aturan-aturan yang dapat menghasilkan kesimpulan yang benar. Dan dasar dalam berlogika adalah: keyakinan, kepastian, wilayah kesungguhan, hukum kesungguhan dan hukum pikir, dan hukum buatan. Adapun macam-macam dari asas pemikirian berdasarkan logika formal adalah: Asas identitas (principium identitas= qanun dzatiyah), asas kontradiksi (Principium Contradictoris = qanun tanaqud), dan asas penolakan kemungkinan ketiga (principium exclusi tertii = qanun imtina’).





DAFTAR PUSTAKA

A Partanto, Pius dan Al Barry, M. dadlan. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 2001.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009.
Bakry, Hasbullah. Systematik Filsafat, Solo: AB. Sitti Sjamsijah, 1964.
Mundiri. Logika, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Poedjawijatna. Logika Filsafat Berpikir, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.
Poespoprodjo, W.  Logika Ilmu Menalar, Bandung: Pustaka Grafika, 2006.
Soemargono, Soejono. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003.
Surajiyo, Astanto, Sugeng dan Andiani, Sri. Dasar-Dasar Logika, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia,  Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.
Wiramihardja, Sutardjo A. Pengantar Filasafat, Bandung: PT Refika Aditama, 2006.


[1] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), 108.
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), 221-222.
[3] W. Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, (Bandung: Pustaka Grafika, 2006), 67.
[4] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, 108-109.
[5] Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), 119.
[6] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, 110.
[7] Hasbullah Bakry, Systematik Filsafat, (Solo: AB. Sitti Sjamsijah, 1964), 21-22.
[8] Mundiri, Logika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 39-42.
[9] W. Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, 67-69.
[10] Pius A Partanto dan M. dadlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer,(Surabaya: Arkola, 2001), 321-345.
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 64.
[12] Mundiri, Logika, 45-51.
[13] Surajiyo, Sugeng Astanto dan Sri Andiani, Dasar-Dasar Logika, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), 29.
[14] W. Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, 63-64.
[15] Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filasafat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), 81-82.
[16] Surajiyo, dkk. Dasar-Dasar Logika, 8-11.
[17] Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filasafat, 83-84.
[18] Poedjawijatna, Logika Filsafat Berpikir, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), 19-26.
[19] Mundiri, Logika, 11-12.
[20] Amsal Bakhtiar, Filsafai Ilmu, 213-217.

2 komentar:

  1. Terimakasih, sangat membantu, jazakillah Rizka Eliyana.

    BalasHapus
  2. Wa Iyyakum.....
    Afwan, Syukron 'Ala al-wajib.

    BalasHapus