Kamis, 17 April 2014

Golongan Mu'tazilah



GOLONGAN MU’TAZILAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Golongan Mu’tazilah adalah sebuah golongan di zaman para sahabat. Golongan ini mempunyai banyak makna dan pengertian serta rumusan nama yang mempunyai banyak perbedaan sejarah dan pengertian. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya perbedaan sudut pandang atas golongan tersebut. Ada ulama’ yang merumuskan nama Mu’tazilah dari segi peristiwa perselisuhan antara Ali bin abi Thalib, Aisyah, Mu’awiyah dan Abdullah bin Zubair, adapula yang merumuskan nama Mu’tazilah dari segi peristiwa tahkim yang menyebabkan munculnya golongan Murji’ah, Khawarij dan Mu’tazilah.
Makalah ini kami sajikan untuk membahas tentang asal usul nama, dan dasar-dasar teologi golongan Murji’ah, Maka jika ada kesalahan yang sekiranya di luar kesadaran, kami siap menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian.

B.     Rumusan Masalah
1.      Asal usul kemunculan mu’tazilah
2.      Ajaran dasar teologi mu’tazilah
  1. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui asal usul kemunculan mu’tazilah
2.      Untuk mengetahui ajaran dasar teologi mu’tazilah


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Asal-usul kemunculan mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1] Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.[2]
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya pertstiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi. Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Al-Basri masih berpikir, Wasil mengemukakan pendapatnya  dengan mengatakan. “ Saya berpendapat bahwa orang yang brbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi ke tempat lain dilingkungan masjid. Disana Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al-Basri berkata, “ Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala anna).” Menurut Asy-Syahtani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.[3]
Versi lain dikemukakan oleh Al-baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin bab, diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya karena ada pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu, golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah maselis hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ Ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.[4]
Al Mas’ud memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al-Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah baina al-manzilatain). Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
Teori baru, yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada golongan orang yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai petikaian disana: Satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazala ila khabita), Qais menamai golongan yang menjauhkan diri dengan Mu’tazilah, sedang Abu Al-Fida menamainya dengan Mu’tazilah.[5]
Dengan demikian, kata I’tazala dan Mu’tazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri, yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.[6]
C.A.Nalino, seseorang orieintalis Itali, mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin dan selaras dengan Mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya bukan berarti “memisahkan dari umat islam lainnya” sebagaimana pendapat Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi, dan tasy Qubra Zahad. Nama Mu’tazilah, diberikan kepada mereka karena mereka berdiri netral antara Khawarij dan Murjiah. Oleh karena itu, golongan Mu’tazilah II ini mempunyai hubungan erat dengan Mu’tazilah I.[7]Pendapat ini dibantah oleh Ali Sami An-Nasysyar yang mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah II timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu’tazilah I yang disebut kaum netral politik.
Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti ahl-al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Lawan Mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan Al-Qadariyah karena menganut faham fre will and fre act, yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Selain itu, mereka menamaninya juga Al-Mu’atillah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dari arti sifat mempunyai wujud diluar zat Tuhan. Mereka juga menamainya dengan wa’diah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan.
B.     Al-Ushul Al-Khamsah: Lima ajaran dasar teologi Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah adalah at-tauhid (pengesaan Tuhan), ad adl (keadilan Tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah baina al-manzilatain (posisi diantara dua posisi), dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
1.      At-tauhid
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memang doktrin ini. Namun, bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah dan tidak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang Qadim. Bila ada yang Qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’adud alk-qudama (berbilangnya dzat yang tidak bermula).[8]
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum). Dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Dia Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui, dan sebagainya. Namun, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang qadim, berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin Ata, seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “Siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan.” Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.
Apa yang disebut sebagai sifat menurut Mu’tazilah adalah dzat Tuhan itu sendiri. Abu Al-hudzail berkata, “ Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan sendiri,” Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzat-Nya.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu baru (diciptakan); Al-Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan; Al-Qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.
Harun Nasution mencatat perbedaan antara Al-Jubba’I dan Abu hasyim atas pernyataan “ Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya.” Menurut Al-Juba’I, arti pernyataan tersebut adalah bahwa untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keaadaan mengetahui. Adapun menurut Abu Hasyim, pernyataan tersebut berarti Tuhan memiliki keadaan mengetahui. Sungguhpun demikian, mereka sepakat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat.
Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu Al-hudzail mengambil konsep nafy ash-shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles, agaknya beralasan bila para pendiri madzhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adl wa at-tauhid (pengikut faham keadilan dan keesaan Tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah dan menempatkan-Nya benar-benar adil.
Doktrin tauhid mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi mu’tazilah. Tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha suci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak antropisme.
Penolakan terhadap faham antropisme bukan sermata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat didalam al-qur’an. Mereka berlandaskan pada pernyataan al-qur’an yang artinya:“Tak ada satupun yang menyamai-Nya”
2.      Al-‘Adl
Ajaran dasar mu’tazilah yang kedua adalah Al-Adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena tuhan maha sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan untuk menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia.[9]
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain berikut ini:
a.       Perbuatan Manusia
Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak.[10] Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah yang baik dan apa yang dilarang-Nya tentulah buruk. Tuhan terlepas dari perbuatan yang buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia. Kebaikan akan dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan, dan itulah keadilan. Karena ia berbuat atas kemauannya sendiri dan tidak dipaksa.
b.      Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ashshalah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak akan jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil.Dengan sendirinya Tuhan juga tidak maha sempurna.[11]Bahkan menurut An-Nazzam, salah satu tokoh mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kepemurahan, dan kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagi-Nya. Artinya, bila Tuhan tidak bertindak seperti itu berarti ia tidak bijaksana, pelit, dan kasar/kejam.
c. Mengutus Rosul
Mengutus Rosul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini.
1.              Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal ini tidak terwujud, kecuali mengutus rosul kepada mereka.
2.              Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasihan kepada manusia (QS. Asy-Syu’ara 26-29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rosul.
3.              Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rosul.[12]
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id
   Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas, Al-Wa’d wa al-Wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil dan Maha bijaksana, tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan Tuhan terikat dan terbatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji Tuhan yang memberikan pengampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.[13] Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan siapapun yang berbuat jahat akan dibalas dengan siksaan yang pedih.

4. Al-Manzilah bain al-manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status beriman(mu’min) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut sebagai kafir bahkan musyrik, sedangkan murjiah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan oleh tuhan. Boleh jadi dosa tersebut diampuni oleh tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Ata (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (Al-Manzilah bain al-manzilataini). Karena ajaran inilah, Wasil bin Ata dan sahabatnya Amir bi Ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majelis gurunya, Hasan Al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Pokok ajaran ini adalah mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fisik, Izutsu, dengan mengutip Ibn Hazm, menguraikan pandangan Mu’tazilah sebagai berikut “Orang yang melakukan dosa besar disebut fasik, Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula kafir(hipokrit).[14] Mengomentari pendapat tersebut, Izutsu menjelaskan bahwa Mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antar mu’min dan pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihan. [15]
5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf An-Nahy an Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran (Al-Amr bi Al-Ma’ruf An-Nahy an). Ajaran ini menekankan kebeberapa pihak kepada kebenaran dan kebaikan, Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam beramar ma’ruf nahy munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, Yaitu berikut ini:
a.        Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar.
b.        Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
c.        Ia mengetahui bahwa perbuatan ma’ruf atau nahy munkar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
d.       Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.[16]
Al-Amr bi Al-Ma’ruf An-Nahy an Munkar bukan monopoli konsep mu’tazilah, Frase tersebut sering digunakan di dalam Al-Quran, arti asal al-ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan Dan kebenaran. Lebih spesifik lagi al-ma’ruf adalah apa yang diteria dan diakui oleh Allah. Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dalam mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma Tuhan. [17]









BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Asal-usul Mu’tazilah
            Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
a)      Golongan Mu’tazilah I
b)      Golongan Mu’tazilah I
2. Al-Ushul Al-Khamsah: Lima ajaran dasar teologi Mu’tazilah
a)      At-tauhid
b)      Al-Adl
c)      . Al-Wa’d wa al-Wa’id
d)     Al-Manzilah bain al-manzilataini
e)      Al-Amr bi Al-Ma’ruf An-Nahy an Munkar







DAFTAR PUSTAKA


Ø  Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, Maktab Wahbah, Kairo 1965.
Ø  Abd Ar-Rahman Badawi, At-Turas Al-Yunani fil Al-Hadarah Al-Islamiyah. Ttp, Kairo, 1965.
Ø  Ahmad Amin, Fajr Al-Islam. An-Nahdah Kairo, 1965.
Ø  Ahmad Mahmud Subhi, Fi ilm Al-Kalam, ttp, kairo, 1969.
Ø  Harun Nasution, Teologi islam dan aliran sejarah, Analis Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.
Ø  Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, Darul kitab Al-Arabi, cet.X, Beirut.
Ø  Mahmud Mazruah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, Dar Al-Manar., Kairo 1991.
Ø  Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Sharastani, Al-Milal wa An-Nihal, ttp, kairo 1951.
Ø  Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, Yayasan wakaf Paramadina, Jakarta, 1995.
Ø  Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan pada Teologi Islam, terj. Agus Fahri Husain dkk. Tiara Wacana, cet. I, Yogyakarta, 1994,


[1] Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, Darul kitab Al-Arabi, cet.X, Beirut, tt, Hal.207.
[2] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, Yayasan wakaf Paramadina, Jakarta, 1995.
[3] Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Sharastani, Al-Milal wa An-Nihal, ttp, kairo 1951, hlm 48.
[4] Ahmad Mahmud Subhi, Fi ilm Al-Kalam, ttp, kairo, 1969, hlm 75.
[5] Ahmad Amin, Fajr Al-Islam. An-Nahdah Kairo, 1965, hlm 290
[6] Harun Nasution, Teologi islam dan aliran sejarah, Analis Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.
[7] Abd Ar-Rahman Badawi, At-Turas Al-Yunani fil Al-Hadarah Al-Islamiyah. Ttp, Kaito, 1965, hlm 165
[8] Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, Maktab Wahbah, Kairo 1965. hlm 196
[9] Al-Jabbar, op. cit, hlm 227
[10] Mahmud Mazruah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, Dar Al-Manar., Kairo 1991, hlm 122
[11] Mazruah, op.cit., hlm. 127.
[12] Mazruah, op.cit., hlm. 130-131
[13] Ibid. hlm. 138-139
[14] Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan pada Teologi Islam, terj. Agus Fahri Husain dkk. Tiara Wacana, cet. I, Yogyakarta, 1994, hlm. 53
[15] Ibid. hlm, 53
[16] Al-Jabbar, op. cit., hlm. 142-143.
[17] Izutsu , op. cit., hlm. 257-258.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar