GOLONGAN MU’TAZILAH
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Golongan
Mu’tazilah adalah sebuah golongan di zaman para sahabat. Golongan ini
mempunyai banyak makna dan pengertian serta rumusan nama yang mempunyai banyak
perbedaan sejarah dan pengertian. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya
perbedaan sudut pandang atas golongan tersebut. Ada ulama’ yang merumuskan nama Mu’tazilah
dari segi peristiwa perselisuhan antara Ali bin abi Thalib, Aisyah, Mu’awiyah
dan Abdullah bin Zubair, adapula yang merumuskan nama Mu’tazilah dari segi
peristiwa tahkim yang menyebabkan munculnya golongan Murji’ah, Khawarij dan
Mu’tazilah.
Makalah ini kami sajikan untuk
membahas tentang asal usul nama, dan dasar-dasar teologi golongan Murji’ah, Maka
jika ada kesalahan yang sekiranya di luar kesadaran, kami siap menerima kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian.
B. Rumusan Masalah
1.
Asal
usul kemunculan mu’tazilah
2.
Ajaran
dasar teologi mu’tazilah
- Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui asal usul kemunculan mu’tazilah
2.
Untuk
mengetahui ajaran dasar teologi mu’tazilah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asal-usul kemunculan mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah
berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang
berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1]
Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya
disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh
sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam
menangani pertentangan antara Ali Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama
Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah
yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian
masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis
seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.[2]
Golongan kedua (selanjutnya disebut
Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di
kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya pertstiwa tahkim.
Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij
dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat
dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah
kemunculannya memiliki banyak versi. Beberapa versi tentang pemberian nama
Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi
antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di
Basrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di
masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri
tentang orang yang berdosa besar. Ketika Al-Basri masih berpikir, Wasil
mengemukakan pendapatnya dengan
mengatakan. “ Saya berpendapat bahwa orang yang brbuat dosa besar bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak
mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan
pergi ke tempat lain dilingkungan masjid. Disana Wasil mengulangi pendapatnya
di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al-Basri
berkata, “ Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala anna).” Menurut
Asy-Syahtani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut
kaum Mu’tazilah.[3]
Versi lain dikemukakan oleh
Al-baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin bab,
diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya karena ada pertikaian diantara
mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan
diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu
tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu, golongan ini dinamakan
Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra
Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid
Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah
maselis hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “
Ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.[4]
Al Mas’ud memberikan keterangan
tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkannya dengan
peristiwa antara Wasil dan Hasan Al-Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah,
katanya karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah
baina al-manzilatain). Dalam artian mereka memberi status orang yang
berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
Teori baru, yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya
peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang
posisi diantara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada golongan orang
yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman
Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai petikaian disana: Satu
golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke
Kharbita (I’tazala ila khabita), Qais menamai golongan yang menjauhkan
diri dengan Mu’tazilah, sedang Abu Al-Fida menamainya dengan Mu’tazilah.[5]
Dengan demikian, kata I’tazala dan Mu’tazilah
telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan
Al-Basri, yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam
pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.[6]
C.A.Nalino, seseorang orieintalis
Itali, mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin dan selaras
dengan Mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya bukan berarti
“memisahkan dari umat islam lainnya” sebagaimana pendapat Asy-Syahrastani,
Al-Baghdadi, dan tasy Qubra Zahad. Nama Mu’tazilah, diberikan kepada mereka
karena mereka berdiri netral antara Khawarij dan Murjiah. Oleh karena itu,
golongan Mu’tazilah II ini mempunyai hubungan erat dengan Mu’tazilah I.[7]Pendapat
ini dibantah oleh Ali Sami An-Nasysyar yang mengatakan bahwa golongan
Mu’tazilah II timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu
pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu’tazilah I yang disebut kaum
netral politik.
Golongan Mu’tazilah dikenal juga
dengan nama-nama lain seperti ahl-al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan
keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang
mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Lawan Mu’tazilah memberi nama
golongan ini dengan Al-Qadariyah karena menganut faham fre will and fre act,
yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Selain itu, mereka
menamaninya juga Al-Mu’atillah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa
Tuhan tidak mempunyai sifat, dari arti sifat mempunyai wujud diluar zat Tuhan.
Mereka juga menamainya dengan wa’diah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman
Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum
Tuhan.
B. Al-Ushul Al-Khamsah: Lima ajaran dasar
teologi Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang
tertuang dalam al-ushul al-khamsah adalah at-tauhid (pengesaan Tuhan), ad
adl (keadilan Tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan),
al-manzilah baina al-manzilatain (posisi diantara dua posisi), dan al-amr
bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran).
1. At-tauhid
At-Tauhid
(pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah.
Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memang doktrin ini. Namun, bagi
Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhanlah
satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh
karena itu, hanya Dia-lah dan tidak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena
itu, hanya Dia-lah yang Qadim. Bila ada yang Qadim lebih dari satu, maka telah
terjadi ta’adud alk-qudama (berbilangnya dzat yang tidak bermula).[8]
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih),
Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan
(antromorfisme tajassum). Dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang
menyerupai-Nya. Dia Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui, dan sebagainya.
Namun, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat melainkan
dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan
yang qadim, berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin
Ata, seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “Siapa yang mengatakan
sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan.” Ini tidak dapat diterima
karena merupakan perbuatan syirik.
Apa yang disebut sebagai sifat
menurut Mu’tazilah adalah dzat Tuhan itu sendiri. Abu Al-hudzail berkata, “
Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan sendiri,” Dengan
demikian, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat dan
esensi Tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzat-Nya.
Mu’tazilah berpendapat bahwa
Al-Qur’an itu baru (diciptakan); Al-Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan;
Al-Qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya
mendahului yang lainnya.
Harun Nasution mencatat perbedaan
antara Al-Jubba’I dan Abu hasyim atas pernyataan “ Tuhan mengetahui dengan
esensi-Nya.” Menurut Al-Juba’I, arti pernyataan tersebut adalah bahwa untuk
mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan
atau keaadaan mengetahui. Adapun menurut Abu Hasyim, pernyataan tersebut
berarti Tuhan memiliki keadaan mengetahui. Sungguhpun demikian, mereka sepakat
bahwa Tuhan tidak memiliki sifat.
Terlepas dari adanya anggapan bahwa
Abu Al-hudzail mengambil konsep nafy ash-shifat (peniadaan sifat Allah) dari
pendapat Aristoteles, agaknya beralasan bila para pendiri madzhab ini lebih
berbangga dengan sebutan ahl al-adl wa at-tauhid (pengikut faham keadilan dan
keesaan Tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah dan
menempatkan-Nya benar-benar adil.
Doktrin tauhid mu’tazilah lebih
lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai tuhan. Begitu
pula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tuhan adalah immateri.
Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang
mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi mu’tazilah. Tidak dapat diterima oleh
akal dan itu adalah mustahil. Maha suci Tuhan dari penyerupaan dengan yang
diciptakan-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak antropisme.
Penolakan terhadap faham antropisme
bukan sermata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang
sangat kuat didalam al-qur’an. Mereka berlandaskan pada pernyataan al-qur’an
yang artinya:“Tak ada satupun yang menyamai-Nya”
2. Al-‘Adl
Ajaran dasar mu’tazilah yang kedua
adalah Al-Adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang
paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena tuhan maha sempurna, Dia
sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan untuk menempatkan Tuhan benar-benar adil
menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan
untuk kepentingan manusia.[9]
Ajaran tentang keadilan ini
berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain berikut ini:
a. Perbuatan Manusia
Manusia menurut mu’tazilah,
melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan
kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak.[10]
Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya baik atau
buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun
yang disuruh Tuhan pastilah yang baik dan apa yang dilarang-Nya tentulah buruk.
Tuhan terlepas dari perbuatan yang buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi logis
dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat
merupakan balasan perbuatannya di dunia. Kebaikan akan dibalas kebaikan dan
kejahatan akan dibalas keburukan, dan itulah keadilan. Karena ia berbuat atas
kemauannya sendiri dan tidak dipaksa.
b. Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah arabnya, berbuat baik
dan terbaik disebut ashshalah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban tuhan
untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak akan jahat dan
aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu
yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan
berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil.Dengan sendirinya Tuhan
juga tidak maha sempurna.[11]Bahkan
menurut An-Nazzam, salah satu tokoh mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat
jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kepemurahan, dan kepengasihan
Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagi-Nya. Artinya, bila Tuhan tidak
bertindak seperti itu berarti ia tidak bijaksana, pelit, dan kasar/kejam.
c. Mengutus Rosul
Mengutus Rosul kepada manusia merupakan kewajiban
Tuhan karena alasan-alasan berikut ini.
1.
Tuhan
wajib berlaku baik kepada manusia dan hal ini tidak terwujud, kecuali mengutus
rosul kepada mereka.
2.
Al-Quran
secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasihan kepada
manusia (QS. Asy-Syu’ara 26-29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah
dengan pengutusan rosul.
3.
Tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rosul.[12]
3.
Al-Wa’d wa al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya
dengan ajaran kedua di atas, Al-Wa’d wa al-Wa’id berarti janji dan ancaman.
Tuhan yang Maha Adil dan Maha bijaksana, tidak akan melanggar janjinya.
Perbuatan Tuhan terikat dan terbatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi
pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa
neraka atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji Tuhan yang memberikan
pengampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.[13]
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan
dibalas dengan kebaikan, dan siapapun yang berbuat jahat akan dibalas dengan
siksaan yang pedih.
4.
Al-Manzilah bain al-manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya
mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status beriman(mu’min) yang
melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang
tersebut sebagai kafir bahkan musyrik, sedangkan murjiah berpendapat bahwa
orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan oleh tuhan. Boleh jadi
dosa tersebut diampuni oleh tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Ata (pendiri
mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua
posisi (Al-Manzilah bain al-manzilataini). Karena ajaran inilah, Wasil bin Ata
dan sahabatnya Amir bi Ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majelis
gurunya, Hasan Al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Pokok ajaran ini adalah mukmin yang melakukan dosa
besar dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fisik, Izutsu,
dengan mengutip Ibn Hazm, menguraikan pandangan Mu’tazilah sebagai berikut
“Orang yang melakukan dosa besar disebut fasik, Ia bukan mu’min bukan pula kafir,
bukan pula kafir(hipokrit).[14]
Mengomentari pendapat tersebut, Izutsu menjelaskan bahwa Mu’tazilah adalah
membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antar mu’min dan pelaku dosa besar
dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihan. [15]
5.
Al-Amr bi Al-Ma’ruf An-Nahy an Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan
dan melarang kemungkaran (Al-Amr bi Al-Ma’ruf An-Nahy an). Ajaran ini
menekankan kebeberapa pihak kepada kebenaran dan kebaikan, Ini merupakan
konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan
dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan
mencegahnya dari kejahatan.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang
mu’min dalam beramar ma’ruf nahy munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah
seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, Yaitu berikut ini:
a.
Ia
mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu
memang munkar.
b.
Ia
mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
c.
Ia
mengetahui bahwa perbuatan ma’ruf atau nahy munkar tidak akan membawa mudharat
yang lebih besar.
d. Ia mengetahui atau paling tidak menduga
bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.[16]
Al-Amr bi Al-Ma’ruf An-Nahy an Munkar
bukan monopoli konsep mu’tazilah, Frase tersebut sering digunakan di dalam
Al-Quran, arti asal al-ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima
oleh masyarakat karena mengandung kebaikan Dan kebenaran. Lebih spesifik lagi al-ma’ruf
adalah apa yang diteria dan diakui oleh Allah. Sedangkan al-munkar
adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau
buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan
keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dalam mencegah timbulnya
perbuatan yang bertentangan dengan norma Tuhan. [17]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Asal-usul Mu’tazilah
Secara
harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis,
istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
a) Golongan Mu’tazilah I
b) Golongan Mu’tazilah I
2. Al-Ushul Al-Khamsah: Lima ajaran dasar teologi
Mu’tazilah
a) At-tauhid
b) Al-Adl
c) . Al-Wa’d wa al-Wa’id
d) Al-Manzilah bain al-manzilataini
e) Al-Amr bi Al-Ma’ruf An-Nahy an Munkar
DAFTAR PUSTAKA
Ø Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh
Al-Ushul Al-Khamsah, Maktab Wahbah, Kairo 1965.
Ø Abd Ar-Rahman Badawi, At-Turas
Al-Yunani fil Al-Hadarah Al-Islamiyah. Ttp, Kairo, 1965.
Ø Ahmad Amin, Fajr Al-Islam. An-Nahdah
Kairo, 1965.
Ø Ahmad Mahmud Subhi, Fi ilm Al-Kalam,
ttp, kairo, 1969.
Ø Harun Nasution, Teologi islam dan
aliran sejarah, Analis Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.
Ø Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah,
Darul kitab Al-Arabi, cet.X, Beirut.
Ø Mahmud Mazruah, Tarikh Al-Firaq
Al-Islamiyah, Dar Al-Manar., Kairo 1991.
Ø Muhammad bin Abd Al-Karim
Asy-Sharastani, Al-Milal wa An-Nihal, ttp, kairo 1951.
Ø Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan
Peradaban, Yayasan wakaf Paramadina, Jakarta, 1995.
Ø Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan
pada Teologi Islam, terj. Agus Fahri Husain dkk. Tiara Wacana, cet. I,
Yogyakarta, 1994,
[1] Luwis Ma’luf, Al-Munjid
fi Al-Lughah, Darul kitab Al-Arabi, cet.X, Beirut, tt, Hal.207.
[2] Nurcholis Madjid,
Islam Doktrin Dan Peradaban, Yayasan wakaf Paramadina, Jakarta, 1995.
[3] Muhammad bin Abd
Al-Karim Asy-Sharastani, Al-Milal wa An-Nihal, ttp, kairo 1951, hlm 48.
[4] Ahmad Mahmud Subhi, Fi
ilm Al-Kalam, ttp, kairo, 1969, hlm 75.
[5] Ahmad Amin, Fajr
Al-Islam. An-Nahdah Kairo, 1965, hlm 290
[6] Harun Nasution, Teologi
islam dan aliran sejarah, Analis Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.
[7] Abd Ar-Rahman Badawi,
At-Turas Al-Yunani fil Al-Hadarah Al-Islamiyah. Ttp, Kaito, 1965, hlm
165
[8] Abd Al-Jabbar bin
Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, Maktab Wahbah, Kairo 1965. hlm 196
[9] Al-Jabbar, op. cit,
hlm 227
[10] Mahmud Mazruah, Tarikh
Al-Firaq Al-Islamiyah, Dar Al-Manar., Kairo 1991, hlm 122
[12] Mazruah, op.cit.,
hlm. 130-131
[14] Tosihiko Izutsu, Konsep
Kepercayaan pada Teologi Islam, terj. Agus Fahri Husain dkk. Tiara Wacana,
cet. I, Yogyakarta, 1994, hlm. 53
[15] Ibid. hlm, 53
[16] Al-Jabbar, op.
cit., hlm. 142-143.
[17] Izutsu , op. cit.,
hlm. 257-258.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar